Pengertian ahli sunah wal jama’ah selama ini masih belum
banyak dipahami oleh sebagian warga NU. Di bidang fiqih misalnya, mereka
beranggapan bahwa ahli sunah wal jama’ah hanya qunut pada shalat subuh, tahlil,
sholawatan, adzan dua kali pada waktu shalat jumat, dan lain lain.
Di samping itu, organisasi-organisasi di luar NU pun juga
memakai lebel ahli sunah wal jama’ah. Dampak dari hal tersebut dapat
menimbulkan kesalahfahaman. Sebab para pendukung ‘ahli sunah wal jama’ah’ tidak
banyak memahami perbedaan-perbedaan antara faham ‘ahli sunah wal jama’ah’ dan
yang bukan, baik yang bersifat ushul (pokok) maupun furu’ (cabang).
Bahkan di kalangan sebagian pengikut ‘madzhab empat’
sendiri, juga banyak yang............
tidak memahami mana qaul yang masih dalam
katagori ‘madzhab empat’ dan mana yang di luarnya, hal ini karena langkanya
pengakajian tentang masalah ‘madzhab’. Kadang-kadang pendapat atau qaul
Hanafiyah yang kebetulan berbeda dengan qaul Syafi’iyyah, sudah
dicap bukan ahli sunah wal jama’ah atau bukan NU. Dan malah mungkin di antara qaul
al-Syafi’iyyah sendiri menjadi perbedaan pendapat.
Juga di bidang tasawuf, banyak orang memahaminya dengan
sebuah amalan-amalan yang bersifat ritual saja, membaca wirid, ber-khalwat
(mengasingkan diri dari khalayak ramai), mengikuti thariqah, dan sebagainya.
Apalagi dalam masalah teologi (aqidah), yang sebenarnya menjadi ukuran
utama ajaran ‘ahli sunah wal jama’ah’.
Sementara di sisi lain, telah banyak generasi muda di
luar NU telah mendapatkan kesempatan belajar, baik di lembaga formal maupun
bukan, di dalam maupun di luar negeri, untuk menekuni kitab-kitab fiqih,
tasawuf, teologi dari berbagai aliran. Belum lagi juga banyak kelompok-kelompok
Islam lain yang memakai embel-embel ahli sunah wal jama’ah untuk
mencapai berbagai kepentingannya, sehingga berdampak negatif terhadap ajaran ahli
sunah wal jama’ah itu sendiri.
Dr. Imam Ghazali Said berkomentar bahwa, Muhammadiyah
secara implisit mengaku ber-idiologi “ahli sunah wal jama’ah”. Ini dapat
diketahui dari salah satu keputusan Majlis Tarjih yang menyatakan bahwa
keputusan-keputusan tentang “Iman” merupakan aqidah Ahlul Haq
Wassunnah. Persatuan Islam (Persis), juga mengaku lebih berhak
menyandang sebutan Ahlusunnah Waljamaah dengan alasan tidak
bermadzhab. Karena itu NU –menurut mereka—tidak bisa disebut Ahlussunnah.
Kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) merumuskan Ahli sunah wal jama’ah
tidak jauh berbeda dengan NU, namun dengan rumusan yang lebih ketat, karena
lebih cenderung untuk menyesatkan pengikut Ibn Taimiyah dan Wahabi.
Perbincangan wacana di atas, menunjukkan kepada kita,
betapa ahli sunah wal jama’ah diyakini oleh beberapa kelompok, sebagai
satu-satunya ajaran yang benar dan selamat dalam Islam (Al-Firqah
Al-Najiyah). Dan ahli sunah wal jama’ah dipahami dengan pengertian yang
berbeda dan beragam. Fenomena inilah sangat terasa kebutuhannya bagi kita untuk
memahami secara mendalam dan luas tentang ‘ahli sunah wal jama’ah’.
PENDAPAT
TOKOH-TOKOH NU
Di dalam hasil keputusan Bahtsul Masail NU Jawa Timur di
Jember, tahun 2002, para kyai-kyai NU menyatakan, golongan ahli sunah wal
jama’ah adalah golongan umat Islam yang selalu berpegang teguh pada kitab Allah
SWT, dan sunnah Rasul serta cara sahabat Nabi dalam melaksanakan petunjuk
Al-Qur’an dan Al- Hadits.1
Dr. Said Aqil Siraj mengatakan, bahwa selama seseorang
berpikirnya masih berpijak dari al-Qur’an dan al-Hadits, maka termasuk ahli
sunah wal jama’ah. Jadi ahli sunah wal jama’ah itu tidak hanya terdiri dari
tiga jalur, aqidah, fiqih, dan tasawuf dengan tokoh-tokohnya yang terbatas.
Menurut dia, asal seseorang itu beriman kepada Allah SWT dan tidak
menyekutukan-Nya, meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhir
Allah SWT dengan wahyu yang diterimanya (Al-Qur’an), dan beriman kepada hari
kiamat, maka itulah ajaran ahli sunah wal jama’ah. Ajaran ini bisa meliputi
Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah, Qodariyah, Jabariyah dan sebagainya.
Sementara tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan pemikir-pemikir yang sealiran, tidak termasuk katagori ahli sunah wal jama’ah, karena cara berpikirnya tidak berangkat dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kesimpulannya, ahli sunah wal jama’ah menurut pandangan ini bisa mencakup berbagai kelompok Islam dalam jumlah yang lebih besar.2
Sementara tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan pemikir-pemikir yang sealiran, tidak termasuk katagori ahli sunah wal jama’ah, karena cara berpikirnya tidak berangkat dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kesimpulannya, ahli sunah wal jama’ah menurut pandangan ini bisa mencakup berbagai kelompok Islam dalam jumlah yang lebih besar.2
Adapun KH. Tolhah Hasan mengingatkan agar dalam
mendefinisikan ahli sunah wal jama’ah harus secara utuh agar terhindar dari
sikap sektarian yang sangat sempit. Artinya tidak semata-mata dipahami secara
doktrinal saja. Tetapi harus dilihat dari sisi historis dan kultural.3
Jadi Ahli sunah wal jama’ah merupakan satu istilah yang mempunyai banyak makna.
Sementara umumnya sekarang ini melihat ahli sunah wal jama’ah hanya dilihat
dari satu versi.
Di luar pemahaman tersebut masih ada pemahaman menurut versi lain. Dengan ahli sunah wal jama’ah dalam versi yang lebih besar, maka NU akan berada pada titik tengah di antara versi-versi yang ada. Sehingga versi yang makro ini dapat mencakup pemahaman yang bersifat mikro dari berbagai dimensi dan sudut pandang sehingga pemahamannya menjadi relatif utuh.
Di luar pemahaman tersebut masih ada pemahaman menurut versi lain. Dengan ahli sunah wal jama’ah dalam versi yang lebih besar, maka NU akan berada pada titik tengah di antara versi-versi yang ada. Sehingga versi yang makro ini dapat mencakup pemahaman yang bersifat mikro dari berbagai dimensi dan sudut pandang sehingga pemahamannya menjadi relatif utuh.
Selanjutnya yang menarik adalah sebagaimana yang
dinyatakan oleh KH. Muchid Muzadi, bahwa alangkah baiknya ada definisi ahli
sunah wal jama’ah “model NU” karena penafsiran ahli sunah wal jama’ah
tersebut berbeda-beda.4
Ada yang berpendapat cukup masalah aqidah saja, ada yang memperluas sampai pada urusan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Sementara orang yang di luar NU juga mengaku sebagai ‘ahli sunah wal jama’ah’. Oleh karena itu NU harus membuat “rumusan ahli sunah wal jama’ah” menurut versinya, agar orang lain memahami ahli sunah wal jama’ah NU tersebut.
Ada yang berpendapat cukup masalah aqidah saja, ada yang memperluas sampai pada urusan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Sementara orang yang di luar NU juga mengaku sebagai ‘ahli sunah wal jama’ah’. Oleh karena itu NU harus membuat “rumusan ahli sunah wal jama’ah” menurut versinya, agar orang lain memahami ahli sunah wal jama’ah NU tersebut.
PENGERTIAN
DAN LATAR BELAKANG
Ahlusunnah wa al- Jama’ah (ahli sunah wal jama’ah)
adalah ajaran mayoritas umat Islam. Ahlusunnah artinya orang-orang
yang berpegang teguh pada sunnah Rasul, dan al-jama’ah adalah golongan
besar umat, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasul SAW pada
masa sahabat empat (Khulafaur Rasyidin).5 Ajaran ini dibangun oleh Abu
Hasan Al-Asy’ari pada hari Jumat tahun 295 H di masjid Jami’ Bashrah
saat ia menyatakan keluar dari golongan Mu’tazilah karena paham-pahamnya
dinilai tidak dapat dipertahankan lagi.6
Dia menyatakan kembali ke paham ajaran-ajaran salaf yang berpegang pada sunnah Rasul, tidak mengandalkan kebenaran putusan-putusan akal terhadap nash-nash al-Qur’an. Imam al-Asy’ari memberikan argumentasi-argumentasi yang lazim dipergunakan dalam ilmu Kalam untuk memperkuat paham salaf. Di tempat lain, Samarkand, ada lagi yang disebut sebagai pendukung ajaran ini, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi (w.333 H). Dan meskipun demikian, kedua tokoh ini terdapat beberapa segi pemikiran yang berbeda. Istilah Ahlusunnah wa al-Jamaah tercantum dalam hadits Nabi, seperti yang tersebut dalam kitab al-Milal wa al-Nihal :
Dia menyatakan kembali ke paham ajaran-ajaran salaf yang berpegang pada sunnah Rasul, tidak mengandalkan kebenaran putusan-putusan akal terhadap nash-nash al-Qur’an. Imam al-Asy’ari memberikan argumentasi-argumentasi yang lazim dipergunakan dalam ilmu Kalam untuk memperkuat paham salaf. Di tempat lain, Samarkand, ada lagi yang disebut sebagai pendukung ajaran ini, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi (w.333 H). Dan meskipun demikian, kedua tokoh ini terdapat beberapa segi pemikiran yang berbeda. Istilah Ahlusunnah wa al-Jamaah tercantum dalam hadits Nabi, seperti yang tersebut dalam kitab al-Milal wa al-Nihal :
واخبر النبيﺻﻟﻰﺍﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺴﻠﻢ ستفترق
امتي ﻋﻠﻰﺛﻼﺙوسبعينفرقةالناجيهمنهاواحدةوالباقون ﻫﻠﮑﻰ ﻗاﻝ ومن الناجيه؟
ﻗﺎﻝاهل السنةوالجماعة ﻗاﻝ ﻭما ﺍﻫﻝﺍﻠﺴﻨﺔ والجماعةﻗﺎﻝماﺍﻧﺎﻋﻠﻳﻪاليوم واصحابى
ﻗﺎﻝاهل السنةوالجماعة ﻗاﻝ ﻭما ﺍﻫﻝﺍﻠﺴﻨﺔ والجماعةﻗﺎﻝماﺍﻧﺎﻋﻠﻳﻪاليوم واصحابى
Artinya : Nabi SAW memberitahu bahwa : umatku akan terpecah menjadi 73
golongan, yang selamat hanya satu, yang lain binasa. Beliau ditanya: Siapa yang
selamat ? Beliau menjawab: Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Beliau ditanya lagi:
Siapa itu Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ? Beliau menjawab: Yang mengikuti apa
yang aku lakukan beserta sahabat-sahabatku.7
Di dalam hadits di atas dapat diambil pengertian
bahwa Ma ana alaihi al-Yaum wa Ashabi, adalah mereka
yang berketetapan pada apa yang diimani, dihayati, dan dimalkan serta
disabdakan oleh Beliau Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Ini
artinya, secara amaliyah ajaran ahli sunah wal jama’ah sebenarnya
sudah dilakukan dan dijalankan oleh sahabat-sahabat Nabi yang kemudian
diteruskan oleh pengikut-pengikutnya.
Al-Zabidi dalam kitabnya Ittihaf al-Sadat al-Muttaqin
mengungkapkan:
إذا اطلق اهل
السّنة والجماعة فالمراد الأشاعرة والماتردية .
“Apabila disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah makamaksudnya
adalah al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyyah.”8
Pada zaman imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), saat ia dalam
sebuah halaqahnya berbicara tentang hukumnya orang mukmin yang melakukan dosa
besar, muridnya yang bernama Washil bin ‘Atha’ (w.131 H) mempunyai pendapat
yang berbeda dengan gurunya. Kemudian dia memisahkan diri dan membuat
kelompok yang diikuti oleh orang-orang yang mendukung pendapatnya, dan
Washilpun bertindak sebagai guru. Kelompok inilah yang akhirnya di sebut dengan
Mu’tazilah yang pada dekade berikutnya menjadi besar karena didukung oleh
pemerintah pada saat itu. Ajaran Washil ini diteruskan oleh murid dan sekaligus
sahabatnya yang bernama ‘Amr bin ‘Ubaid (w.144 H). Kemudian diteruskan oleh
murid ‘Amr bin ‘Ubaid yang bernama Abu Hudzail al ‘Allaf (w.226 H). Abu Hudzail
al- ‘Allaf punya murid yang namanya Abu Yusuf al-Bishri. Diteruskan lagi oleh
muridnya yang namanya Abu Ali al-Juba’i (w.303 H).9 Abu Ali al- Juba’i inilah guru dari Abu Hasan
al-Asy’ari, perumus ajaran Ahlusunnah wa al-Jama’ah.
Dr. Said Aqil Siraj, mengatakan bahwa pada pasca
terbunuhnya sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib di padang Karbala, muncullah
kelompok-kelompok Islam seperti Murji’ah, Qodariyah, Syi’ah, Jabariyah, dan
sebagainya. Di balik itu ada tokoh-tokoh yang berada di tengah-tengah (netral),
tidak memihak pada kelompok-kelompok tersebut, yakni Hasan al-Bashri, Malik bin
Dinar, Ibnu Sirin, Fudzail bin ‘Iyad, Sufyan al-Tsauri, dan lain-lain.
Tokoh-tokoh inilah sebagai cikal bakal munculnya ajaran ahli sunah wal
jama’ah.10 Jadi al-Asy’ari
ketika mendeklarasikan ajaran ahli sunah wal jama’ah, sebenarnya mau
kembali kepada ajaran yang pernah dijalankan oleh para sahabat, tabi’in
yang termasuk di dalamnya adalah Imam Hasan al-Bashri dan tokoh-tokoh lainnya.
Nama lengkap Al-Asyari adalah Abu Hasan Ali bin
Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin
Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari 11. Ini
berarti ia adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW, yaitu Abu Musa
Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat ia lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M.
Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia pindah ke Baghdad dan wafat di sana pada
tahun 324 H/935 M.12
Ibn Asakir menyatakan, ayah al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham
Ahlusunnah wal Hadits dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil.
Sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin
Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Sepeninggal ayahnya, Ibu Al-Asy’ari
menikah lagi dengan seorang tokoh Muktazilah yang bernama Abu Ali Al-Juba’i.
Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Muktazilah.
Ia sering menggantikan ayahnya dalam perdebatan menentang lawan-lawan
Muktazilah.
Al-Asy’ari menjadi penganut muktazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu,
tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah di masjid Bashrah bahwa dirinya
telah meninggalkan faham Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Ia
tahu bahwa dengan mengajarkan ajaran Muktazilah yang sangat mengandalkan akal,
berati telah melakukan dosa sosial karena telah mengajak orang lain untuk
berbuat kemunafikan. Setelah peristiwa tersebut, banyak kalangan yang memuji
dan mengikuti Al-Asy’ari berkat keberaniannya tersebut, yang kemudian dijuluki
sebagai pelopor gerakan kembali ajaran Ahlusunnah Waljamaah. Para
pengikut Al-Asy’ari diantaranya dari kalangan ahli Hadits (Muhadditsin),
ahli fiqih (Fuqoha), dan para ulama dari berbagai macam disiplin ilmu.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki: “Sesungguhnya
mereka (pengikut Al-Asy’ari) adalah para Muhadditsin, Fuqoha, dan Mufassirin, serta
para Imam terkemuka” .13
Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari
keluar dari Muktazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari sendiri atas mimpinya
bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10,
ke-20, dan ke-30 Ramadhan. Dalam mimpinya itu, Rasulullah mengingatkan agar
meninggalkan faham Muktazilah dan membela faham yang telah di bawa oleh beliau.14
Di samping itu ada faktor lain yang menjadikan Al-Asy’ari keluar dari
Muktazilah, yakni masalah perdebatannya dengan guru yang sekaligus juga ayah
tirinya yaitu Al-Juba’i seputar al-shalah wa al-ashlah (sebuah
pandangan Muktazilah mengenai Tuhan wajib berbuat baik dan yang terbaik untuk
manusia), yang berujung Al-Juba’i tidak bisa menjawab pertanyaan Al-Asy’ari.15. Akhirnya
Al-Asy’aripun menjadi semakin ragu-ragu terhadap doktrin Muktazilah. Di sisi
lain ia juga banyak menemukan pandangan-pandangan Muktazilah yang tidak lazim
untuk dipergunakan.
Di tempat lain, Samarkand, ada lagi yang disebut
sebagai tokoh ajaran ini, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi.
Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi,
dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah
Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Usbekistan. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara jelas, hanya diperkirakn sekitar abad ke-3
Hijriyah. Ia wafat tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan Teologi
(Kalam) bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi (w. 268 H) dan Muhammad bin Muqatil
al-Razi (284 H).16
Al-Maturidi adalah seorang tokoh yang menguasai berbagai
macam disiplin ilmu. Namun karir pendidikannya lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi
faham- faham teologi yang berkembang pada masyarakat Islam saat itu, yakni
faham Muktazilah yang didukung pemerintah, yang dipandangnya tidak sesuai
dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
Al-Maturidi seorang yang menganut madzhab Abu Hanifah
(Imam Hanafi). Maka wajar, jika kebanyakan ajaran-ajaranya merupakan bagian
dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang aqidah dan fiqih. Karena itu
banyak pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Al-Maturidi
adalah pendapat Abu Hanifah dalam bidang aqidah. Murid-muridnya yang terkenal ada empat orang, yakni Abu
Qasim Ishak bin Muhammad bin Ismail yang terkenal sebagai Hakim Samarkand
(w.340 H). Kemudian Abu Hasan Ali bin Said al-Rasthaghfani, Abu Muhammad Abdul
Karim bin Musa al-Bazdawi (390 H), dan Abu al-Laits al-Bukhari.17
Pemikiran-pemikiran Al-Maturidi banyak tertuang di dalam
karya-karyanya seperti: Kitab al-Tauhid, Ta’wil al-Qur’an, Al-Jadl, Ushul
fi al-Ushul al-Din, Maqalat fi-al-Ahkam Radd Awa’il al-Abdillah li al-Ka’bi,
Radd al-Ushul al-Khamisah li Abi Muhammad al- Bahilli, Radd al-Imamah li
al-Ab’ad al-Rawafid, Kitab Radd ‘ala Qaramithah,18 dan lain-lain.
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DI KALANGAN NU
Menurut sejarah, dinyatakan bahwa, ahli sunah wal jama’ah
NU pertama kali dicetuskan oleh kelompok Taswirul Afkar (potret pemikiran)
pimpinan KH. Wahab Hasbullah, cikal bakal NU di Surabaya. Dalam Qanun Asasi NU
sendiri, KH. Hasyim Asy’ari tidak mengemukakan secara eksplisit definisi ‘ahli
sunah wal jama’ah’ sebagaimana difahami selama ini. Melainkan hanya menekankan
mengenai keharusan warga ‘ahli sunah wal jama’ah’ untuk berpegang teguh kepada
madzhab fiqih yang empat. Sedangkan rumusan ‘ahli sunah wal jama’ah’ sebagai
faham yang mengikuti Al-Asy’ari dan Al-Maturidi (Aqidah), empat madzhab dalam
bidang fiqih, dan mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaid, baru dikemukakan oleh
KH. Bisri Musthafa (Rembang-Jateng).
Konsep ahli sunah wal jama’ah ini diambil dari kitab Al-Kawakib Al-Lama’ah, karya KH. Abu Fadhal, Senori,Tuban, yang kemudian disahkan dalam Muktamar NU, di Solo tahun 1962, dan difinalkan oleh para kyai besar NU yang saat itu dengan tim editornya antara lain, KH. Bisri Sansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Turaichan Adjhuri (Kudus).19
Konsep ahli sunah wal jama’ah ini diambil dari kitab Al-Kawakib Al-Lama’ah, karya KH. Abu Fadhal, Senori,Tuban, yang kemudian disahkan dalam Muktamar NU, di Solo tahun 1962, dan difinalkan oleh para kyai besar NU yang saat itu dengan tim editornya antara lain, KH. Bisri Sansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Turaichan Adjhuri (Kudus).19
Sebagaimana diketahui, bahwa NU adalah sebuah organisasi
yang bergerak di bidang keagamaan, dakwah, sosial yang berhaluan Ahlusunnah wa
al- Jama’ah dengan mengikuti:
· Di bidang
Ilmu Aqidah (Kalam), mengikuti faham Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu
Mansur Al-Maturidi.
· Di bidang
Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki,
Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
- Di bidang
tasawuf, mengikuti faham Imam Ghazali, Imam Junaid al-Baghdadi dan lain-lain.
Bidang Aqidah (Kalam)
Umat Islam di Indonesia yang merupakan penduduk muslim
terbesar di dunia, di bidang aqidah, pada umumnya menganut ajaran Imam
Al-Asy’ari, kemudian Imam Al-Maturidi. Kedua tokoh ini terkenal dengan
pemikirannya yang moderat, menengahi aliran Jabariyyah yang berfaham fatalis
dan qadari yang berfaham free will-free act seperti
Mu’tazilah dan Syi’ah.
Memang dalam perjalanannya, Muktazilah telah mendapatkan
tantangan besar dalam mengembangkan pemikiran teologinya. Sehingga dalam dekade
berikutnya telah mengalami penurunan. Tantangan tersebut berasal dari tokoh ‘ahli
sunah wal jama’ah’ yaitu Imam Asy’ari di Baghdad, dan Imam Maturidi di
Samarkand. Ini bisa dilihat dari persamaan pemikiran dari kedua tokoh ini,
seperti, Tuhan
dapat dilihat di akhirat, Kalam Tuhan Qadim, adanya Sifat
Tuhan,
Syafa’at, Hukum orang mukmin
melakukan dosa besar, adanya siksa kubur, Telaga Kautsar,20 dan lain-lain, yang semua ini bertentangan dengan paham
Mu’tazilah. Meskipun keduanya adalah tokoh sentral ajaran ahlu
sunnah wa al-Jama’ah yang banyak persamaan dalam pemikiran teologi, tetapi
juga ada perbedaan antara keduanya. Misalnya, Al-Asy’ari pengikut madzhab Imam
Syafi’i, sedangkan Al-Maturidi pengikut Imam Hanafi.21 Kemudian dalam
masalah perbuatan manusia misalnya, Al-asy’ari menyatakan bahwa perbuatan
manusia tidaklah diwujudkan oleh manusia saja, tetapi juga diciptakan oleh
Alllah. Sementara Al-Maturidi berpandangan sebaliknya, bahwa manusialah
yang mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, tetapi hakikatnya tetap dari Allah
SWT. Namun demikian, kedua tokoh ini lahir bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah.
Dua Imam yang agung ini (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi),
telah menjelaskan ajaran ‘ahli sunah wal jama’ah’ yang diyakini para sahabat
Nabi SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan
dalili-dalil naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan aqli (dalil
rasional) dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu
yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan
Muktazilah. Jalan yang ditempuh oleh Al-Asy’ari dan Al- Maturidi dalam
pokok-pokok akidah adalah sama dan satu, sehingga ahlusunnah waljama’ah
dinisbatkan terhadap keduanya. Mereka (kelompok ahlusunnah) akhirnya dikenal
dengan nama Asy’ariyyah (para pengikut Al-Asy’ari), dan Maturidiyyah
(para pengikut Al-Maturidi). Dan mereka adalah ratusan juta umat, golongan
mayoritas. Pengikutnya banyak dari kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi,
dan orang-orang utama dari kalangan madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
Sementara Rasulullah SAW sendiri telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya
tidak akan sesat.
Adapun perbedaan mendasar pemikiran Al-Asy’ari dan
Muktazilah adalah terletak pada kekuatan akal. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Muktazilah sangat mengagung-agungkan akal, dan berpendapat bahwa ‘akal’ manusia
dapat sampai kepada dua ajaran dasar dalam agama, yaitu adanya Tuhan dan
masalah kebaikan dan kejahatan. Setelah sampai kepada adanya Tuhan,
dan apa yang disebut dengan baik dan jahat. ‘Akal’ manusia
dapat pula mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan, dan
kewajibannya untuk berbuat baik dan kewajiban untuk menjahui dari
perbuatan jahat. Adapun status wahyu dalam ‘empat’ hal ini hanya
untuk memperkuat pendapat ‘akal’ dan untuk memberi perincian tentang apa-apa
yang telah diketahuinya itu.
Al-Asy’ari beserta pengikutnya (Asy’ariyyah),
berpendapat bahwa ‘akal’ tidak begitu besar daya kekuatannya. Dan dalam ‘empat’
masalah di atas, ‘akal’ hanya sampai kepada adanya Tuhan. Sedangkan
masalah kewajiban manusia terhadap Tuhan, perbuatan baik dan jahat,
kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjahui perbuatan jahat, itu
diketahui manusia dengan melalui ‘wahyu’ yang diturunkan Tuhan melalui para
Nabi dan Rasul. Sehingga dapat disimpulkan, kalau Muktazilah banyak
percaya pada kekuatan akal, sedangkan kaum Asy’ariyyah banyak
bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai Muktazilah adalah mempergunakan akal
dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas ‘wahyu’ sesuai dengan
pendapat akal. Sedangkan Asy’ariyyah sebaliknya. Mereka lebih
mendahulukan ‘wahyu’ dan kemudian membawanya kepada argumen-argumen yang
rasional untuk teks wahyu tersebut.
Di sinilah, di bidang Aqidah (teologi), NU
mengambil jalan untuk memilih faham Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi
beserta pengikut-pengikutnya. Sekalipun dalam realitanya, NU lebih condong kepada
Al-Asy’ari.22 Hal ini tidak bisa
dipungkiri, mengingat literatur ajaran al-Maturidi dan Maturidiyyah.23 Tidak sebanyak literatur ajaran Al-Asy’ari dan Asy’ariyyah.
Di samping pula, tokoh-tokoh penerus Al-Asy’ari seperti, Al-Juwaini (Imam
Haramain), Al-Baqillani, Al-Syahrastani, dan terutama Imam Ghazali yang sangat
luas pengaruhnya di dunia Islam, lebih dikenal oleh ulama-ulama NU, dari
pada para penerus Al-Maturidi seperti Al-Bazdawi (w. 390 H), Najm Al-Din
Al-Nasafi (w. 537 H), Hasan Ali bin Said al-Rasthaghfani, Abu al-Laits
al-Bukhari, dan lain-lain.
Bidang
Fiqh
Di bidang fiqih, pendiri madzhab empat (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali) adalah orang-orang yang berpegang teguh terhadap ajaran
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagai tokoh yang hidup lebih dahulu dibanding dengan
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi; Imam Hanafi (w. 150 H), Imam Maliki (w. 179 H),
Imam Syafi’i (w. 204 H), dan Imam Hanbali (w. 241 H) pemikiran-pemikiran
teologinya peralel dengan kedua tokoh perumus ajaran ‘ahli sunah wal jama’ah’
di atas. Sebagai bukti Al-Asyari dan Al-Maturidi adalah pengikut dari salah
satu empat madzhab tersebut. 24
Syeikh Ibn ‘Asakir menyatakan, bahwa ajaran Al-Asy’ari
tidak jauh berbeda dengan pemikiran ulama-ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Syafi’iyyah. Tidak ada perbedaan di antara mereka (imam madzhab empat) dalam
masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada
sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah dan bukan makhluk,
Allah dapat dilihat di akhirat, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalan
hati dan lisan.25 Demikian juga
pernyataan Syeikh Abi Fadlol di dalam kitabnya al-Kawakib al-Lama’ah,
bahwa tokoh-tokoh pengikut madzhab empat, pemikirannya tidak jauh berbeda
dengan al-Asy’ari dan al-Maturidi.26
Oleh karenanya, NU di bidang fiqih hanya membatasi empat madzhab meskipun banyak
juga ulama-ulama pendiri madzhab selain dari yang empat di atas, seperti,
Sufyan al-Tsauri, Daud al-Dzahiri, al- Auza’i, Sufyan bin Uyainah, dan
lain-lain. Akan tetapi kekuatannya masih diragukan, karena tidak ada sanad yang
kuat dan sampai pada imam madzhab tersebut. Di samping juga mereka tidak
membukukan pemikiran-pemikirannya. Padahal pada abad ke-2 hijriyah ada sebelas
macam madzhab, tetapi pada 500 Hijriyah, satu persatu telah tereliminasi dengan
sendirinya karena pengikutnya terus berkurang. Akhirnya tinggal empat madzhab
yang masih eksis sampai sekarang, dan pengikutnya telah tersebar di seluruh
dunia.
Dalam hal banyaknya madzhab fiqih dan dipilihnya empat madzhab, KH Hasyim Asy’ari,
salah seorang pendiri NU menjelaskan, bahwa sebenarnya bukan hanya madzhab
empat saja yang boleh diikuti oleh umat Islam. Madzhab lain seperti Sufyan
Al-Sauri, Sufyan bin Uyainah Ishaq bin Rahawaih, Daud Dzahiri, dan lain-lain,
juga boleh diikuti. Hanya saja karena tidak memiliki pengikut setia yang
mengembangkan madzhab mereka, dan tidak banyak literatur yang menurut pemikiran
mereka, sehingga mata rantai pemikiran mereka terputus.27 Sehingga kewajiban bermadzhab, cukup pada empat madzhab
saja.
Demikian NU telah memilih madzhab empat, sekalipun dalam realitanya ternyata
lebih cenderung, bahkan hampir mendekati seratus persen, memakai dan mengamalkan
fiqih madzhab Syafi’i. Hal ini, mengingat latar belakang guru dari tokoh-tokoh
NU, seperti guru dari KH. Hasyim Asy’ari yaitu, Syeikh Mahfudz Termas
(pengarang kitab Mauhibah dzi Al-Fadlol), Syeikh Nawawi Banten, yang
karya-karyanya menyebar di seluruh Indonesia, adalah tokoh-tokoh yang
bermadzhab Syafi’i. Di sisi lain kuatnya pengaruh madzhab Syafi’i ini tidak
lepas dari peranan pondok pesantren dengan para kyainya dan kitab kuningnya.
Seperti kita ketahui, hampir semua kyai-kyai tersebut bermadzhab Syafi’i, dan
kitab-kitab yang dikajipun juga kitab-kitab Syafi’iyyah.
Bidang
Tasawuf
Di bidang tasawuf, Imam Ghazali28 (w. 505 H), Imam
Junaid al-Baghdadi (w. 297 H), dan imam-imam lain yang pemikirannya sealiran,
menjadi pilihan NU. Imam Ghazali adalah seorang tokoh pembela paling gigih
paham Imam Al-Asy’ari di bidang teologi. Sedangkan di bidang fiqih, ia
mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Imam Ghazali menjadikan ajaran tasawuf
harus berada dalam garis syari’at. Demikian juga Imam Junaid. Menurutnya,
tasawuf harus menempel pada ketentuan syari’at atau tasawuf merupakan tahap
lanjut kehidupan orang-orang yang telah mantap syari’atnya.
Imam Ghazali, dipandang oleh kalangan tokoh Islam,
sebagai salah satu tokoh yang telah berhasil mengkompromikan ajaran
tasawuf dengan ajaran fiqih, yang sebelumnya sebagian dari umat Islam pengikut
kedua ajaran tersebut saling mengunggulkan ajarannya masing-masing. Di mana
para pengikut tasawuf telah lupa dengan ajaran syari’at, sementara pengikut
fiqih telah mengabaikan ajaran-ajaran tasawuf. Kemudian Imam Ghazali berusaha
menjembataninya dengan cara tasawuf dijadikan bagian dari fiqih. Hal ini dapat
dilihat dari karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin. Akhirnya fiqih yang
‘kosong’ dari pesan-pesan moral, menjadi lebih lengkap dengan diikutkannya
tasawuf dalam masalah fiqih.
Karena seperti halnya Imam Al-Asy’ari, Imam Ghazali
adalah seorang penengah. Ia berpendapat bahwa kebenaran terletak antara
literalisme kaum Hanbali dan liberalisme kaum failasuf, sebagaimana faham
Muktazilah.
Sementara Imam Junaid, yang mempunyai nama lengkap Abu
Al-Qasim Al-Junaidi bin Muhammad Ali Khazzaz al-Nahawandi,29 Terkenal dengan julukannya ‘maha guru’ sufi pernah
bercerita: “semua jalan (kebenaran) tertutup bagi manusia, kecuali orang
yang mengikuti jejak Rasul SAW. Barang siapa tidak menghafal Al-Qur’an dan
banyak mencatat banyak hadits, dia tidak boleh diteladani dalam urusan tasawuf,
kecuali ilmu yang terkait dengan Al-Kitab dan Al-Sunah.”30
Bahkan dalam rumusannya, Imam Junaid menyatakan, bahwa
tasawuf tidak harus memberikan syarat seseorang untuk berkhalwat
(mengasingkan diri), malah ia menekankan agar para sufi dapat memberikan
nasihat dan bimbingan di tengah-tengah masyarakat.
Dari sinilah tasawuf yang tetap berada dalam garis ajaran
ahli sunah wal jama’ah menurut mayoritas umat Islam adalah yang dibawa oleh
Imam Ghazali, Imam Junaid al-Baghdadi, dan tokoh-tokoh yang sealiran dengan
mereka. Dan NU memilih ajaran tasawuf yang seperti ini.31 NU adalah pengikut dan pembela paham ahli sunah wal
jama’ah di Indonesia yang paling tegas. NU tidak merasa memonopoli predikat ahli
sunah wal jama’ah, tetapi hanya mengambil bagian dari ahli sunah wal jama’ah, bukan
satu-satunya. NU tidak gampang menuduh orang lain ajarannya sesat, murtad,
apalagi sampai mengkafirkan.
Dengan memperhatikan corak pemikiran tentang ‘ahli sunah
wal jama’ah’ di atas, sebagai kaum muslimin di Indonesia, khususnya warga NU,
hendaknya kita mengembangkan wawasan keilmuan, terutama mendalami kembali
tentang ahli sunah wal jama’ah. Misalnya di bidang teologinya Imam
Al-Asy’ari, yang antara lain berkat perjuangan gigih para pengikutnya seperti,
Abu Bakar Al-Baqillani, Al-Juwaini (Imam Haramain), Imam Ghazali,
al-Syahrastani, dan lain- lain, sehingga penyebarluasan pemikirannya sangat
kongkrit. Kitab-kitabnya harus banyak di pelajari secara langsung. Hal ini
sangat penting, karena dapat terhindar dari sikap sektarian yang sangat sempit.
Belum lagi pemikiran Al-Maturidi, yang karya-karyanya sangat minim sekali di
Indonesia, sehingga pola pemikirannya kurang banyak dipahami oleh kita.
Di bidang fiqih, di samping memakai standart keilmuan,
integritas pengamalan yang sudah ada, juga referensi kepustakaan yang lebih
lengkap, kita dapat mempelajari berbagai pemikiran para tokoh fiqih, terutama Madzahib
al-Arba’ah. Tidak hanya produk pemikirannya saja, tetapi bagaimana para
ulama tersebut bisa memunculkan pendapatnya. Misalnya ushul al-Madzahib,
masalah yang muttafaq baina a’immah, dan yang mukhtalaf baina
a’immah, dan sebagainya. Sehingga tidak terjadi pertentangan yang
sebenarnya tidak perlu di antara pendukung madzhab, karena sama-sama tidak
mengerti.
Di sisi lain, juga perlu memahami pula pemikiran-pemikiran di luar Madzahib al-Arba’ah tersebut.
Di sisi lain, juga perlu memahami pula pemikiran-pemikiran di luar Madzahib al-Arba’ah tersebut.
Juga tidak kalah pentingnya, adalah bidang tasawuf.
Misalnya sebagai pengagum dan pengikut Imam Ghazali, kita tidak hanya mengambil
aspek etiknya saja. Akan tetapi metode berpikirnya, sifat
menyeimbangkan antara intuisi dengan akal fikiran, dan lain-lain, merupakan hal
yang perlu untuk kita ketahui dan pelajari. Sehingga akan terlatih berpikir
secara metodologis yang menjadi syarat keilmiahan. Sebab selama ini, umat
NU tampak lebih banyak tertarik kepada amalan-amalan rutinitas yang
pasif, seperti istighatsah, diba’, manaqib dibanding dengan pemikiran
yang dinamis dan kreatif. Kajian-kajian intelektual, seperti diskusi, seminar, bahtsul
masa’il sangat perlu untuk ditingkatkan.
Kita memang bukan tokoh-tokoh di atas, sehingga jauh
untuk dapat mengimbangi pemikiran pemikirannya. Akan tetapi dengan mempelajari
sejarah kehidupan mereka, dan metode jalan pemikirannya, —minimal—kita tidak
gampang terjebak oleh perbedaan-perbedaan pendapat yang mestinya tidak perlu
terjadi. Dan sifat toleran, moderat, tawasuth, tawazun, dan i’tidal, yang
menjadi ciri khas NU dapat tercipta dengan baik dan benar, serta
termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSAKA
[2] Lihat, Kiai Menggugat; Mengadili Pemikiran Kang
Said, Editor: Mastuki HS, Pustaka Ciganjur, Jakarta,
1999, hal. 14-15
[3] Tolhah Hasan, Wawasan Aswaja sebagai
Aqidah ,Manhaj, dan Madzhab, dalam makalah, September
2002, hal.1
[4] Abdul Muchid Muzadi, Beberapa Hal yang Perlu
Dipermasalahkan Dalam Pemaknaan Ulang Aswaja, dalam
Aula, no.1, Januari 1997, hal.84
[6] Abu Fadlol al-Senory, al- Kawakib al-Lama’ah
fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah,
Alhidayah, Surabaya: tt, hal. 39
[8] Al-Zabidi, Ittihaf al-Sadat al
Muttaqin bi Syarhi Ihya’ alUlum al-Din, Dar al-Fikr,
Beirut, tt. Juz II, hal. 6
[9] Muhyi al-Din Abd al-Hamid, pentahqiq dalam Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, terj. H. A.
Nasir Yusuf, Pustaka Setia, Bandung: 1998, hal. 42
[10] Said Aqil Siraj dalam Taswir al-Afkar, No. 1 / Mei-Juni 1997 ; DUTA, 30 Januari 1999. Dan pernyataan
tersebut nampaknya bertentangan dengan pendapat pak Said Aqil sendiri dalam
mengartikan ‘aswaja’. Sebab aswaja menurutnya, adalah mencakup semua kelompok
Islam dalam jumlah yang besar. (lihat halaman sebelumnya)
[12] Lihat, Abu Fadlol al-Senory, al-
Kawakib al-Lama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, Alhidayah,Surabaya: tt, hal. 39
[15] Lihat dialog Al-Asy’ari dengan Al-Juba’i seputar status
orang mukmin, orang kafir, dan anak kecil setelah meninggal dunia.
[16] Kitab al-Tauhid li al-Imam Abi Mansur
al-Maturidi, di tahqiq oleh Dr. Fathullah Khulaif,
Dar al-Jami’at al-Fikriyah, Beirut, tt, hal. 1
[18] Kitab al-Tauhid li al- Imam Abi Mansur
al-Maturidi, Dan lihat Rosihan Anwar dan Abdul Razak dalam
bukunya Ilmu Kalam,
Op Cit, hal. 125.
[19] Upaya Membakukan Buku dan Membukukan Baku Aswaja, dalam Ummu
Risalah (laporan utama), AULA 3,th XIX (Maret 1997), hal. 19-20
[20] [20] Baca, Al-Asy’ari
Muniriyyah, Mesir, tt. hal.17dalam al-Ibanah an Ushul
al-Diyanah, Idarot al-Thoba’at al-
[22] Dalam kitabnya yang berjudul Risalah Ahlusunnah Waljama’ah, halaman 9,
KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa masyarakat jawa sejak dulu telah mengikuti
faham Imam Asy’ri dalam masalh ushuluddin.
[23] Sebagaimana diketahui, al-Maturidi telah menghasilkan karya ilmiah
seperti, Kitab al-Tauhid, Kitab Ta’wil al-Qur’an,
Kitab al-Jadl, Kitab al-Maqalat fi al-Ahkam, Risalah fi al-Aqa’id, Kitab Radd
ala al-Qaramithah, dsb. Lihat, Ensiklopedi Islam, PT Ikhtiar Dar Van
Houfe, Jakarta, 1993, hal. 207
[24] Ada delapan ciri-ciri ajaran aswaja, Lihat, Abd al-Qahir
al-Bagdadi,dalam al-Farq baina al-Firaq, Dar al-Kutub, Beirut, tt. hal. 240-243 ;
[25] Ibn ‘Asakir, Tabyin Kadzib al-Muftara
fi ma Yunsabu Ila al-Imam Abi Hasan al-Asy’ari, Dar
al-‘Ilm, Beirut, tt, hal. 101
[27] Saifullah Maksum (editor), Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh
NU,Bandung, Mizan, 1998, hal.80
[28]
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, lahir tahun 450 H di
Ghazaleh, sebuahkota kecil di daerah Thus, wilayahKhurasan,Iran, yang kini
disebutMeshed. Dikota ini pula ia dikebumikan pada tahun 505 H.
[29] Beliau adalah keponakan dari Sirri Al-Saqathi, seorang ahli tasawuf
terkenal. Menunaikan ibadah haji di usia 7 tahun. Di samping seorang ahli ilmu
dalam segala bidang, beliau dikenal tokoh sufi ternama. Wafat pada tahun 297 H.
diBaghdad.
[30] KH. Tolhah Hasan dalam buku “Menuai Hidup Damai Melalui Tsawuf”
, Lembaga Penerbitan Aswaja Centre UNISMA,Malang, 2002.
[31]
Seperti tersebut dalam sejarah, ada ajaran
tasawuf yang kontroversi—-wa Allahu A’lam—-, seperti wahdat al-wujudnya
Ibn al-‘Arabi, Hululnya al-Hallaj, Ittihad dari Abu Yazid
al-Bustami, di Indonesia, Ana al-Haq dari Syeikh Siti Jenar.
Ajaran-ajaran tersebut dianggap membahayakan aqidah umat Islam pada umumnya.
tamoZfriggi Shawn Showcase https://www.ariapothecari.com/profile/Taimanin-Asagi-Uncensored4sharedtorrent-BEST/profile
ReplyDeletewietitbehnlas