KEBIDANAN DAN MASYARAKAT
I.
Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.
Definisi yang lebih sederhana diajukan oleh Larry
Green dan para koleganya yang menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah
kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela
terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Data terakhir menunjukkan bahwa
saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu mendapat jaminan
kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan,
seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek.
Golongan masyarakat yang dianggap 'teranaktirikan'
dalam hal jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan masyarakat kecil dan
pedagang. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi lebih pelik, berhubung
dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa kelompok
manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri.
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa:
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini
maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari
unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa
merupakanbagian integral kesehatan.
II.
\Konsep Sehat
dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat
Konsep sehat
dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada
faktor–faktor lain diluar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor
sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu
hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan
lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang
konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu.
Masalah
sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau
ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis,
psikologis maupun sosio budaya. Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit
apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain
yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang
sakit (istilah sehari -hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak
terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit.
Masalah
kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai
masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, social
budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat
kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well
being , merupakan resultante dari 4 faktor yaitu:
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan
ecological balance.
3. Heredity
atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan
sebagainya.
4. Health
care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat
faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling
besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan
masyarakat. Tingkah laku
sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor
seperti kelas social,perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan
yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variable-variabel
tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Istilah
sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan pengertian profesional yang
beragam. Jaman dahulu dari sudut pandangan kedokteran,
sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya
tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat
sehat dari berbagai aspek. WHO
mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani,
rohani, maupun kesejahteraan social seseorang. Sebatas mana seseorang dapat
dianggap sempurna jasmaninya?
Oleh para
ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandang sebagai disiplin biobudaya
yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah
laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang
sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit
sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan
sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar.
Seorang
pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai
pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit
adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di
badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit
makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau
istirahat saja.
Persepsi
masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang
dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan
ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu
generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
Contoh
persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di
beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua
adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari
mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa
hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar
ketentuannya.
Pelanggaran
dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan
diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan
muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa
hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan
dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan
sembuh.
Persepsi
masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana
dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk
gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya.
Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.
Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.
III.
Budaya Masyarakat Daerah Pada Masa
Kehamilan
a.
Upacara Mengandung Empat Bulan
Dulu
Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan
belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah
disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan sebagai
pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah betul-betul
hamil.
Namun
sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat kehamilan
menginjank empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat
ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara
Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a selamat,
biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan
selamat.
b.
Upacara Mengandung Tujuh
Bulan/Tingkeban
Upacara
Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung
7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang
melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup,
maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur
dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja
terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari
dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan
pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat
Maryam.
Di samping
itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil , dan yang
utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang
sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang
paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai
bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada
guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini
dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti
belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari
tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi
yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti
keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis.
Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan
keselamatan dunia-akhirat.
Sesudah
selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak
kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu
kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka
membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk
bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang
sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb.
Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah
rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
c.
Upacara Mengandung Sembilan Bulan
Upacara
sembilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam
upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat
lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar
bubur lolos, sebagai simbul dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan
waktu melahirkan, lolos. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi
tumpeng atau makanan lainnya.
d.
Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara
Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari
sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga,
perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau
kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua
itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan.
Pada
pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung
beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang
kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang
hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan
dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang
dilaksanakan
IV.
IV. Peranan Seorang Bidan
Menjadi
seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik maupun
mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Di Indonesia ini jumlah
bidan memang tidak sedikit, tetapi untuk di pelosok daerah masih banyak
masyarakat yang belum paham akan arti dari bidan. Bidan yang siap mengabdi di
kawasan pedesaan, artinya ia juga harus siap dengan konsekuensi yang akan
terjadi.
Tak mudah
mengubah pola pikir ataupun kebiasaan masyarakat. Apalagi, masalah proses
persalinan. Kehadiran tenaga medis dengan spesialisasi melayani persalinan kaum
perempuan, bagi warga Mercu dan Muktitama, termasuk hal baru. Selama ini,
apabila ada yang akan melahirkan mereka pada umumnya mengandalkan dukun. Bahkan,
terdapat tradisi tujuh bulanan. Ibu hamil dengan usia kandungan tujuh bulan,
telah diharuskan menentukan siapa dukun yang akan membantu persalinan. “Ini
tantangan cukup berat. Kita takut nantinya, terjadi risiko yang tidak
diinginkan pasca melahirkan. Misalnya infeksi atau penularan penyakit selama
persalinan berlangsung. Seperti pemotongan tali pusat, ada yang masih pakai
gunting biasa. Padahal, gunting itu sebelumnya harus disterilkan,”terang wanita
yang menempati rumah dinas di Puskesmas Pembantu (Pustu) itu.
Ujung-ujungnya,
ketika persalinan bermasalah dan dukun sudah angkat tangan, baru di bawa ke
bidan. Pernah suatu kali, kata Yanti, seorang ibu sehari semalam mengejan
kesakitan. Sudah ditolong oleh dukun, tapi sang bayi tak kunjung keluar.
Akhirnya dijemputlah bidan. “Waktu saya datang, bayinya lahir
dengan selamat. Saya pikir masyarakat mulai percaya bidan, tapi ternyata
rupanya ndak juga,”katanya lalu tersenyum.
Sejak
bertugas di kampung yang berpenduduk lebih dari 1.200 jiwa itu, hingga
sekarang, Yanti mengaku baru dua kali menangani proses persalinan. Selebihnya,
membantu pasien rujukan dari dukun. Walau begitu, ia maklum dengan cara
berfikir warga di sana. “Secara perlahan, mungkin nantinya mereka akan mengerti
juga, betapa pentingnya tenaga kesehatan dalam hal persalinan,”tuturnya tegar.
Informasi
yang berhasil dirangkum Padang Ekspres, sedikitnya terdapat tiga dukun beranak
yang masih aktif. Yanti memprediksikan, antara bidan dan dukun, kisarannya 8:2.
Dari sepuluh orang, delapan orang lebih memilih ke dukun dan hanya dua orang
yang lebih percaya pada bidan. Di tanya apakah kecendrungan ini ada
hubungannya dengan tarif persalinan yang dibanderol oleh bidan? Sontak, Yanti
menggeleng. Bahkan, katanya biaya yang ditawarkan dukun ada yang sedikit lebih
tinggi dari bidan. Di samping itu, di tempat bidan berlaku Jamkesmas atau
Jamkesda. Tapi, hal ini bukanlah jaminan yang bisa menggaet hati para ibu-ibu.
Kendala yang
dihadapi bides itu, tak hanya seputar masalah pendekatan kepada ibu-ibu hamil.
Sebagai daerah pedalaman, istri Irmansyah Putra itu, harus akrab dengan segala
keterbatasan infrastruktur. Antara lain, tentang jaringan listrik yang belum
masuk di kampung itu. Begitupula masalah air bersih. Krisis air paling terasa
bila hujan tak kunjung turun.
V.
Upaya Pemerintah Dalam Pembangunan
Kesehatan
Untuk mencapai
sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yaitu Angka Kematian Ibu (AKI)
sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
menjadi 23 per 1.000 KH pada tahun 2015, perlu upaya percepatan yang lebih
besar dan kerja keras karena kondisi saat ini, AKI 307 per 100.000 KH dan AKB
34 per 1.000 KH. Hal itu sambutan Menkes yang dibacakan Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan dr. Ratna Rosita Hendardji, MPH dalam acara Kampanye
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Penggunaan
Buku KIA, bekerja sama dengan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu
(SIKIB), di Jakarta (3/2/2010).
“Surga ada
di bawah telapak kaki ibu”, pepatah ini menunjukkan betapa pentingnya posisi
ibu di masyarakat, namun kenyataannya perhatian terhadap keselamatan ibu saat
melahirkan masih perlu ditingkatkan, demikian pula bayi yang dilahirkan harus
sehat dan tumbuh kembang dengan baik, ujar Menkes.
Menurut
Menkes, Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya percepatan penurunan
AKI dan AKB antara lain mulai tahun 2010 meluncurkan Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) ke Puskesmas di Kabupaten/ Kota yang difokuskan pada kegiatan
preventif dan promotif dalam program Kesehatan Ibu dan Anak. Untuk tahun ini, sebanyak 300 Puskesmas di wilayah Jawa, Bali, Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua memperoleh dana operasional sebesar Rp 10
juta per bulan. Mulai tahun 2011, seluruh Puskesmas yang berjumlah 8.500 mendapatkan
BOK.
Kematian ibu
disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (eklampsia),
infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab langsung
kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan oksigen
(asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah
karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi dan budaya.
Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut
memperberat permasalahan ini.
Beberapa hal
tersebut mengakibatkan kondisi 3 terlambat (terlambat mengambil keputusan,
terlambat sampai di tempat pelayanan dan terlambat mendapatkan pertolongan yang
adekuat) dan 4 terlalu (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, terlalu
rapat jarak kelahiran), tambah Menkes. Keterlambatan
pengambilan keputusan di tingkat keluarga dapat dihindari apabila ibu dan
keluarga mengetahui tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta tindakan yang
perlu dilakukan untuk mengatasinya di tingkat keluarga, ujar Menkes.
Menkes
menambahkan, salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan
indikator proksi (persalinan oleh tenaga kesehatan) dalam penurunan Angka
Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi adalah Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K). Program dengan menggunakan “stiker” ini, dapat meningkatkan
peran aktif suami (suami Siaga), keluarga dan masyarakat dalam merencanakan
persalinan yang aman. Program ini juga meningkatkan persiapan menghadapi
komplikasi pada saat kehamilan, termasuk perencanaan pemakaian alat/ obat
kontrasepsi pasca persalinan.
Selain itu,
program P4K juga mendorong ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan, bersalin,
pemeriksaan nifas dan bayi yang dilahirkan oleh tenaga kesehatan terampil
termasuk skrining status imunisasi tetanus lengkap pada setiap ibu hamil. Kaum
ibu juga didorong untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dilanjutkan
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. “P4K
berperan dalam pencapaian salah satu target program 100 hari Kementerian
Kesehatan yaitu terdatanya ibu hamil di 60.000 desa di seluruh Indonesia. Saat
sudah terdata 3.122.000 ibu hamil di 67.712 desa,” papar Menkes. Perencanaan persalinan dapat dilakukan manakala ibu, suami dan keluarga
memiliki pengetahuan mengenai tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas;
asuhan perawatan ibu dan bayi; pemberian ASI; jadwal imunisasi; serta informasi
lainnya.
Semua informasi tersebut ada di dalam Buku KIA
yang diberikan kepada ibu hamil setelah didata melalui P4K. Buku KIA juga
berfungsi sebagai alat pemantauan perkembangan kesehatan ibu hamil serta
pemantauan pertumbuhan bayi sampai usia 5 tahun. Buku ini dapat diperoleh di
Puskesmas, jelas Menkes.
Pada kesempatan tersebut Menkes mengajak semua ibu hamil, suami dan keluarga melaksanakan P4K. Kepada organisasi profesi dan rumah sakit menyediakan dan menggunakan Buku KIA di sarana kesehatan lebih ditingkatkan.
Pada kesempatan tersebut Menkes mengajak semua ibu hamil, suami dan keluarga melaksanakan P4K. Kepada organisasi profesi dan rumah sakit menyediakan dan menggunakan Buku KIA di sarana kesehatan lebih ditingkatkan.
Menurut
Menkes, upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan akan lebih optimal
apabila semua khususnya Pemerintah Daerah berperan aktif, mendukung dan
melaksanakan semua program percepatan penurunan AKI dan AKB. Selain itu juga
perlu dukungan pihak swasta baik dalam pembiayaan program kesehatan melalui
CSR-nya maupun partisipasi dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan swasta.
Menkes
berharap kampanye ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat Indonesia dan dapat
diikuti oleh pihak-pihak lain sehingga “Ibu Selamat, Bayi Sehat, Suami Siaga”
menjadi slogan bersama. Menkes juga
menyambut gembira atas keterlibatan SIKIB dalam kampanye P4K sebagai upaya
memajukan kesehatan ibu dan anak. Menkes juga menyampaikan apresiasi atas peran
PKK yang telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam pelaksanaan
program kesehatan terutama KIA di lapangan.
DAFTAR
PUSTAKA
3.
http://crackbone.wordpress.com/2010/01/27/pengembangan-sistem-kesehatan-masyarakat-indonesia-berbasis-partisipasi-seluruh-masyarakat-menghadapi-era-globalisasi/.
Rabu, 13 Oktober 2010
6.
Waskitho.Pengembangan Sistem
Kesehatan Masyarakat Indonesia Berbasis Partisipasi Seluruh Masyarakat
menghadapi Era Glibalisasi.
No comments:
Post a Comment