Friday 5 April 2013

KEBUDAYAAN DAN PERADABAN ISLAM MASA DEPAN

KEBUDAYAAN DAN PERADABAN ISLAM MASA DEPAN 
 1. Dinamika Gerakan Kebangkitan Islam
 Abad ke-15 Hijriah dicanangkan oleh seluruh umat Islam sebagai abad kebangkitan kembali Islam. Chandra Muzaffar menanggapi gaung kebangkitan kembali Islam ini sebagai suatu proses historis yang dinamis. Ada tiga pengertian
tentang konsep kebangkitan kembali Islam yang dikemukakan oleh Muzaffar, dua di antaranya adalah : Pertama, konsep ini merupakan suatu penglihatan dari dalam, suatu cara pandang dalam mana kaum muslimin melihat derasnya dampak agama di kalangan pemeluknya. Hal ini menyiratkan kesan bahwa Islam menjadi penting kambali. Artinya, Islam memperoleh kembali prestise dan kehormatan dirinya. Kedua, “kebangkitan kembali” mengisyaratkan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Maka dalam gerak kebangkitan kembali ini terdapat keterkaitan dengan masa lalu; bahwa kejayaan Islam pada masa lalu itu – jejak hidup Nabi Muhammad saw, dan para pengikutnya – memberi pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada “jalan hidup” Islam pada masa lalu[1]. Menurut Chandra Muzaffar, kebangkitan kembali Islam antara lain diilhami oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, kekecewaan terhadap peradaban Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generapi baru Muslim. Kedua, gagalnya sistem sosial yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme. Ketiga, ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjakkanya harga minyak, dan Keempat, rasa percaya diri kaum Muslimin akan masa depan mereka akibat kebenangan Mesir atas Israil tahun 1975, revolusi Iran tahun 1979 dan fajar kemunculan kembali peradaban Islam abad ke-15 menurut kalender Islam[2]. Di sisi lain, sebagian ahli mengatakan bahwa “kebangkitan Islam merupakan wacana yang suram dalam pemikiran Islam kontemporer. Tetapi, fenomena ini tidak sepenuhnya tampak jelas, tetapi sebaliknya tidak pula dapat dikatakan tidak jelas”.[3] Fenomena ini dapat diamati dibeberapa negara Islam yang mengalami krisi politik, eknomi, dan sosial budaya seperti Afganistan, Iraq, Indonesia sebagai negara muslim yang mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Palestina yang mengalami tekanan dari Israil dan Amerika yang tidak memapu bangkit dan berkembang, serta Iraq yang dijajah oleh Amerika sebagai emperialisme baru diera modern. Ungkapan “kebangkitan kembali” di atas menyiratkan adanya proses dan gerak berkesinambungan yang mengacu ke masa depan yang dinamik. Dinamik Islam dalam kebudayaan sebagaimana telah dicapainya pada masa-masa keemasannya diharapkan dapat tampil kembali dan sekaligus menjadi tenaga penggerak bagi munculnya kejayaan budaya baru di masa depan. Kejayaan ini hanya akan mucul jika dinamika Islam benar-benar dapat menyentuh dan membangkitkan seluruh rangsangan budaya. Untuk itu sikap kultural yang kreatif harus tumbuh dan menggelora dalam gerak dunia Islam[4]. Tantangan terhadap Islam dewasa ini justru datang dari segi kebudayaan. Persoalan kebudayaan dan peradaban kurang menjadi perhatian dan pemikiran baru serta kreatif sebagai upaya memajukan kebudayaan dan peradaban Islam. Tanpaknya umat Islam lebih puas menerima kebudayaan dan peradaban dari dunia Barat, karena takut dikatakan tidak mau menerima perubahan, ketinggalan zaman, dan bahkan dikatakan kolot. Kemudian umat Islam mengeksport secara besar-besaran, pemakai, dan bahkan sebagai pengagum budaya dan peradaban Barat. Jadi, tantangan Islam dewasa ini justru dari segi kebudayaan. Artinya pemikiran umat Islam pada “masalah ibadah [formal] sudah “selesai”. Asal ibdat itu dikerjakan dengan baik, benar, khusyu’ dan ikhlas, sudah memenuhi syarat. Umat Islam tidak lagi memikirkan tata cara dan upacaranya, sebab telah ada ketentuan-ketentuan dari Allah yang sudah pasti, permanen dan serba tetap. Namun untuk masalah-maslah kebudayaan meminta perhatian dan pemikiran-pemikiran baru yang kreatif dalam upaya memajukannya”.[5] Untuk selalu mengagung-agungkan kebesaran masa silam sudah bukan waktunya lagi. Mempelajarinya masa lalu sebagai pengalaman, pengetahuan, dan sejarah [historis] untuk membangun perdaban masa depan adalah suatu hal yang harus dilakukan. Tetapi, “sikap selalu mengagungkan kebesaran masa silam adalah “sikap defensif dan apologetis. Mental defensif dan apologetis dalam banyak hal tidak selalu menguntungkan karena berpikir secara reaktif, tidak kreatif. Sikap dan mental defensif dan sikap apologetis hanya memberikan “kepuasaan” sementara dan kebanggaan semu, tetapi tidak memberikan fungsi sebenarnya kepada akal. Karena itu, dalam rangka pengembangan kebudayaan Islam, akal harus difungsikan secara kreatif untuk menghasilkan karya-karya yang mengukuhkan eksistensi pilar-pilar masa depan Islam. Untuk itu, kebesaran masa lalu memang harus dipelajari secara seksama, bukan untuk didengungkan dan membuat kita terlena, tetapi dengan pelajaran dan pengalaman masa lalu itu kita harus membuat era kejayaan yang baru[6] untuk masa sekarang dan masa akan datang. Al-Qur’an memberi sinyalemen sebagai berikut, “Apakah meraka tidak memjelajahi bumi dan memperhatikan bagaimana akibat [yang dialami] orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat daripada mereka [sendiri] [Q.S. Ar-Ruum [30]:9].[7] “Apakah mereka tidak melawat di bumi, maka mereka tidak memperhatikan bagaimana akibat orang-orang yang sebelum mereka? Allah menimpakan kebinasaan atas mereka” [Q.S. Muhammad [47]:10].[8] Dari dua ayat Qur’an ini, jelas menunjukkan bahwa manusia harus memperhatikan dan mempelajari pengalaman orang-orang masa lalu. Hal itu, berarti umat Islam diperintahkan mempelajari sejarah? Mengapa? Sejarah adalah cermin masa lalu untuk dijadikan pedoman bagi masa kini dan mendatang. Oleh karena itu, sejarah bagi kaum muslimin tidak hanya bermanfaat bagi cermin dan pedoman, tetapi juga menjadi alat untuk memahami secara lebih tepat sumber-sumber Islam. Melalui dan dari sejarah, orang akan mengenal siapa dirinya serta memperoleh keteladanan.[9] Dari sini, hal-hal yang positif dapat terus dikembangkan, sehingga kita dapat membuat era kejayaan yang baru untuk masa sekarang dan masa akan datang untuk membangun peradaban manusia. Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk menjadi sebaik-baik umat, bukan sebaliknya. Sudah barang tentu kita tidak ingin menjadi seburuk-buruk golongan umat, akan tetapi kita ingin menjadi “sebaik-baik golongan ummat”, karena Islam mengajarkan untuk menjadi ummat terbaik [khairu ummah].[10] Yakni ummat yang telah memiliki kejayaan dan kemulyaan pada masa silam dan berusaha terus untuk meraih kemajuan, kemulyaan dan kejayaan baru. Maka, tentang kemulyaan di masa silam, ummat Islam telah mempunyainya. Sekarang, kemulyaan dan kejayaan untuk era budaya baru harus diciptakan kembali[11]. Dalam sejarahnya, keyajaan itu bukan hanya terjadi di Barat seperti kita saksiakan ini. Tetapi kejayaan selalu berpindah tangan dari satu bangsa kepada bangsa lain. Garis besar perjalanan sejarah kejayaan itu bermula dari Mesir, berpindah ke Babilonia, dari Babilonia ke Aegian, dari Aegian ke Yunani, dari Yunani ke Carthago, dari Carthago ke Roma, dari Roma ke ummat Islam, dan akhirnya dari ummat Islam berpindah ke Barat. Maka, kejayaan Barat dan kebudayaannya sekarang ini pun sudah diramalkan akan juga berakhir[12]. Di ambang pintu berakhirnya dominasi Barat modern dewasa ini, kesempatan besar terbuka bagi Islam untuk membuat kejutan-kejutan kemajuan budaya baru. Menurut Faisal Ismail, bahwa hal ini bukan suatu hal yang mustahil terjadi, karena Tuhan sendiri menggilirkan hari-hari kejayaan itu di antara para manusia [bangsa][13]. Menurut Faisal Ismail, kejutan-kejutan sebanarnya sudah dimulai oleh pelopor-pelopor kebangkitan Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani [1838-1897 M], Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905 M] bersama muridnya Syaikh Rashid Ridha [1856-1935 M], yang mengumandangkan ruh jihad dan ijtihad. Al-Afghani, menulis buku dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Ar-Ruddu ‘alad-Dahriyin [Penolakan atas Paham Materialisme]. Al-Afghani, memperingatkan bahwa terdensi berbahaya yang melekat pada kebudayaan Barat adalah “materialisme”[14]. Lewat poyek politiknya yang terkenal dengan “Pan-Islamisme”, al-Afghani terkenal sebagai seorang arsitek dan aktivis “revitalis Muslim pertama” yang menggunakan konsep “Islam dan Barat sebagai fenomena sejarah yang berkonotasi korelatif dan sekaligus bersifat antagonistik. Seruang al-Afghani kepada dunia dan umat Islam untuk menentang dan melawan Barat, sebab al-Afghani melihat kolonialisme Barat sebagai musuh yang harus dilawan karena mengancam Islam dan umatnya. Sementara disisi lain, al-Afghani juga menghimbau dan menyerukan kepada umat Islam untuk mengembangkan akal dan teknik seperti yang dilakukan oelh Barat agar kaum Muslimin menjadi kuat[15]. Ide pembaruan dan kebangkitan Islam yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh, pembaru dari Mesir itu, juga memiliki pengaruh yang luas. Gagasan-gagasan pemabruan Abduh diformulasikan oleh HAR Gibb ke dalam empat butir penting, yaitu : 1. Memurnikan Islam dari pengaruh-pengaruh dan praktik-praktik yang merusak. 2. Melakukan reformasi pendidikan tinggi Islam. 3. Melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern. 4. Mempertahankan Islam dari serangan-serangan Barat-Kristen[16]. Muhammad Iqbal [1873-1938 M] dari India, seorang penyair sekaligus filosof, yang banyak mendalami kebudayaan Barat dan kebudayaan Islam. Iqbal lewat puisi-puisinya merangsang dan membangun semangat juang ummat Islam untuk kejayaan Islam. Iqbal memperingatkan bahwa cita etis dalam kebudayaan Barat telah digantikan oleh paham serba guna [utilitarianisme] dalam bentuknya yang kasar, yaitu serba dagang atau komersialisme. Oleh karena itu, Iqbal lewah sebuah pusinya mengkritik kebudayaan Barat, yaitu : “Akal budi dan agama telah diperdaya bid’ah. Dan cuta-cita asyik’lah dialihkan serba dagang semata. Kau berserikat dengan benda, Tak memberikan padamu apa-apa, kecuali perhiasan zahir. Kamatian mencanangkan kedatangan hidup baru untuk dunia[17]. Kesempatan-kesempatan baik bagi Islam semakin terbuka juga dengan telah bangkinya negara-negara Islam dari cengkraman penjajahan, terutama di Asia dan Afrika, yang berpenduduk mayoritas Islam. Selain itu, telah didirikan organisasi-organisasi Islam untuk menggalang persatuan dan kesatuan Islam secara internasional, yang sangat berguna bagi forum dialog dalam merundingkan permasalahan-permasalahan Islam dan sekaligus memecahkannya. Diskusi, konsultasi dan konsolidasi makin terasa intensif dilakukan di Dunia Islam[18]. Organisasi-organisasi Islam internasional itu di antaranya dapat disebut World Muslim Conggres, [bermarkas di Karachi], World Muslim League [Rabithah Alam Islamy, berpusat di Mekkah dan Majlis A’la al-Alamy lil-Masajid [Dewan Masjid se-Dunia], berkedudukan di Mekkah. Di samping itu muncul pula pusat-pusat Islam [Islamic Centre] di berbagai kota dan negara seperti di Washington [Amerika Serikat], Londong, Jepang, Belanda, Jerman dan sebagainya. Maka dengan lewat borsur-brosur dari oragnisasi-organisasi tersebut, ajaran-ajaran Islam disebarkan menebus radius lingkungan yang lebih luas[19]. Dalam gerakan kebangkitan kembali itu terlihat pula kemajuan pembangunan ekonomi yang sedikit demi sedikit menanjak maju di kalngan negara-negara Islam. Bangsa-bangsa Arab di kawasan Timur Tengah dengan kekayaan minyaknya semakin memperlihatkan getaran-getaran kemajuan. Negara-negara Arab ini sempat membuat resah negara-negara industri Barat dengan politik “embargi minyak”-nya ketaika terjadi perang Arab-Israil di tahun 1970-an. Embargo minyak oleh negara-negara Arab ini telah mencemaskan negara-negara Barat bagi kelangsungan hidup industri-industri mereka[20]. Sekarang ini, pada dekade 2000-an negara Pakistan dan Iran, juga menggetarkan negara Eropa dan Barat dengan program teknologi nuklirnya. Proses kebangkitan kebudayaan Islam makin terasa. Ini tidak lain karena Islam itu sendiri yang menjadi energi ruhaniah dan etos akliyah. Energi, vitalitas dan etos inilah yang memberi semangat “renaissance” kebudayaan di kalangan umat Islam dewasa ini. Menarik apa yang ditulis seorang guru besar dari universitas McGill, Charles J. Adams, bahwa : Tercapainya kemerdekaan politik dan berkembangnya kesadaran nasional di kalangan umat Islam disertai satu renaissance kebudayaan. Umat Islam menoleh kembali kepada sejarah kejayaan mereka di zaman lampau untuk menemukan kembali identitas mereka, serta mendapatkan bimbingan hidup dalam menghadapi keadaan dan persoalan-persoalan yang serba sulit dan berat dalam dunia medern sekarang. Setelah mereka kehilangan vitalitas selama beberapa abad sampai sekarang, Islam sekali lagi menempuh masa kebangkitannya. Umat Islam yang berjumlah 1/7 atau lebih dari jumlah penduduk dunia, setiap hari meningkat baik dalam jumlahnya atau pun dalam kekayaannya dan nilai kedudukannya. Vilatitas baru di kalangan umat Islam ini juga membawa kebangkitan dalam arti religius [keagamaan] di antara mereka sendiri. Di tengah-tengah mereka mengalami kemerosotan dari dalam dan menghadapi tekanan-tekanan dari luar, mereka berusaha memurnikan dan memuliahkan segi-segi penting dari ajaran agama yang mereka warisi. Islam telah mencapai dinamika baru dan merupakan suatu kekuatan utama yang mendorong umat Islam untuk memperoleh kedudukan lebih baik di dunia ini[21]. Maka, jika dikaitkan dengan situasi dunia Islam dewasa ini, apa yang ditulis Adams, agaknya tidak jauh berbeda, bahkan itulah yang sebenarnya terjadi: kebangkitan Islam dengan renaissance kebudayaannya[22]. 
2. Kebangkitan Kembali Kebudayaan Islam 
Situasi yang melatarbelakangi dunia dewasa ini memang memungkinkan Islam untuk hadir dan tampil kembali. Barat dengan kebudayaannya sudah diramalkan akan tamat, sementara itu akan muncul peradaban baru yang bercorak keagamaan ideal. Khurshid Ahmad, berbicara tentang “kita berjuang, dana masa depan adalah Islam” ketika mengantarkan buku karya Abul A’la Maududi Islam Today, agaknya hal itu bukan suatu ilusi. Sebab tak kurang dari seorang G.B. Shaw meramalkan bahwa Islam akan dapat menancapkan eksistensinya di Eropa. Shaw, juga berbicara tentang daya-tarik Islam, vitalitasnya yang mengagumkan, dan kapasitas asimilasi Islam terhadap perubahan-perubahan dari eksistensi ini. Lengkapnya, Shaw berkata : “Apabila ada agama yang mendapatkan kesempatan untuk memerintah negeri Inggris, bukan, malahan Eropa, pada seratus tahun yang akan datang, maka agama itu tidak lain adalah Islam. Saya selalu menempatkan agama Muhammad ini pada penghargaan tinggi karena vitalitasnya yang mengagumkan. Agama ini adalah satu-satunya agama yang menurut saya memiliki kapasitas assimilasi terhadap perubahan-perubahan dari eksistensi ini, yang mampu memberikan daya tariknya pada tiap-tiap masa. Saya percaya jika ada seorang seperti Muhammad itu harus memegang kediktatoran dari dunia modern ini, ia akan berhasil dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dunia ini dengan cara yang membawa kepada perdamaian dan kebahagiaan yang sangat dibutuhkan[23]. Soedjatmoko, mengemuakakan sebuah proyeksi yang menarik tentang masa depan dunia. Soedjatmoko, mengatakan bahwa peradaban negara-negara industri tampaknya sudak mencapai titik optimal dalam perkembangannya. Kelebihan yang tampaknya belum dapat dikejar oleh negara-negara berkembang kini hanya tinggal di bidang pesenjataan. Dalam keadaan demikian, negara-negara berkembang akan dituntut untuk mengembangkan peradaban mereka sendiri[24]. Soedjatmoko, memperkirakan munculnya tiga peradaban dunia dari negara-negara berkembang di masa depan, yakni : [1] peradaban Senetik [bersumber pada dataran Cina] yang meliputi kawasan RRC, Krea, Jepang dan Vietnam, [2] Peradaban Indik [bersumber dari ke Indiaan] dengan lingkup sebagain kawasan Asia Tenggara, Srilangka dan anak benua India sendiri, dan [3] Peradaban Islam yang membentang dari Asia Tenggara hingga ke Marokko[25]. Khusus tentang munculnya peradaban Islam yang diramalkan Soedjatmoko sebagai salah satu peradaban dunia nanti, jika dikaitkan dengan pengamatan sastrawan Inggris, Shaw, ada relevansinya. Shaw, mengatakan bahwa agama di masa depan bagi orang-orang yang berpendidikan, berilmu, berbudaya dan berkebudayaan adalah Islam. “The future religion for the educated, enlightened and cultured people will be Islam[26]. Alisjahbana, dengan melihat potensi kebebasan umat Islam Indonesia dan kuatnya nilai agama, nilai ilmu dan ekonomi pada kebudayaan Islam, menaruh perhatian khusus dengan mengatakan : “Kalau lita lihat dan bandingkan berbagai-bagai kebudayaan ekspresif, yaitu kebudayaan yang dikuasai oleh intuisi, perasaan dan fantasi agama dan seni, mungkin kebudayaan Islam yang dianut sebagian terbesar dari rakyat Indonesia dan yang kuat nilai agama maupun nilai ilmu dan ekonominya, seolah-olah teruntuk buat serta mencari jawab soal-soal manusia abad ke-20”[27]. Selanjutnya Alisjahbana mengatakan, untuk melakukakan hal itu, ahli-ahli fikir Islam mesti kembali merumuskan keseimbangan antara agama dan ilmu, antara kekudusan rahasia hidup dan alam semesta dengan kenyataan dunia empirik yang dapat dikaji oleh pikiran. Jika ini dapat dilakukan, maka tidak mustahil dalam zaman ini, umat Islam dapat memimpin seluruh dunia dalam menghadapi masa yang akan datang[28]. Dari pemikiran yang dikemukakan di atas, sebenarnya kebangkitan Islam dan kebudayaan tergantung kepada umat Islam sendiri, tergantung kepada amal-amal kultural atau aktivitas-aktivitas kebudayaan yang dilakukannya. Maka, tanpa amal-amal kultural atau kegiatan kultural, kebangkitan kebudayaan Islam akan hanya merupakan harapan dan pengandaian saja. Tetapi apa yang dikatakan Toynbee [1889-1975 M] bahwa “masa depan dari agama-agama besar di dunia sekarang ini, tergantung pada apa yang mereka perbuat bagi umat manusia, di dalam abad di mana kita hidup”[29]. Di bagian lain, Toynbee mengatakan, bahwa : “Sekarang ini pengharapan kita untuk menolong peradaban dunia hanya tinggal kepada Islam yang masih sehat, kuat, belum telumuri kebenarannya dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dibawanya sebagai modal untuk menolong seluruh dunia kemanusiaan”[30]. Maka dalam hubungannya dengan kejayaan masa depan Islam, umat Islam sudah semestinya terpanggil untuk memberdayakan energi, vitalitas dan etos kerjanya dalam rangka memperkaya karya-karya budaya dalam segala aspek hidup dan kehidupan umat dalam memberi makna bagi manusia dan kemanusiaan. Menggarisbawahi Toynbee, Islam harus tampil untuk “menolong peradaban dunia” dan “menolong seluruh dunia kemanusiaan”, karena misi utama Islam – sebagaimana diungkapkan al-Qur’an : “memberi rahmat bagi seluruh umat manusia”. Maka. Misi ini sudah barang tentu akan memacu Islam dan umatnya untuk tampil sebagai alternatif kekuatan budaya dan sekaligus sebagai paradigma baru yang menandai munculnya sosok baru kebudayaan dunia[31]. ________________________________________ [1] Chandra Muzaffar, “Kebangkiuatn Kembali Islam: Tinjauan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddiqie, eds., Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj. Rachman Achwan, LP3ES, 1989, Jakarta, hlm. 7., dan dalam Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, hlm.261. [2] Ibid, hlm. 32 dan Faisal Ismail, ibid. 262. [3] Fahmi Huwaidi, Kebangkitan Islam dan Permaslahan Hak Antara Warga Negara, From: http:/ /mediua. isnet.org/islam/Bangkit/Huwaidi1.html., akses, 2 September 2003. [4] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, hlm.262 [5] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.262. [6] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.262 [7] Al-Qur’an, Surat Ar-Ruum [30], ayat 9. [8] Al-Qur’an,Surat Muhammad [47], ayat 10 [9] Nourouzzaman Shiddiqi, 1996, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 3-4. [10] Al-Qur’an, Surat Ali ‘Imran, ayat 110. [11] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm. 263 [12] Ibid, hlm.263 [13] QS. Ali Imran ayat 140, dalam Faisal Ismail, hlm. 264. [14] Ibid, hlm. 264 [15] Wilfred Cantwell Smith, 1977, Islam in Modern History, Princton University Press, New Jersey, hlm. 49 dan 50., dalam Faisal Ismail, hlm. 264. [16] HAR Gibb, 1970, Modern Trends in Islam, Octagon Books, New York, hlm. 33., dalam Faisal Ismail, hlm. 264-265. [17] M, Natsir, 1976,World of Islam Fertifal dalam Perspektif Sejarah, Yayasan Idayu, Jakarta, hlm.21. [18] Faisal Ismail, 1998, op.cit., hlm. 265. [19] Ibid, hlm. 266. [20] Ibid, hlm. 266. [21] M. Natsir, 1976, op.cit., hlm. 38-39. [22] Faisal Ismail, 1998, op.cit., hlm. 269. [23] Dikutip dalam A. Mukti Ali, 1969, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan Pemberantasan Kemiskinan dari Segi Agama Islam, Yayasan Nida, Yogyakarta, hlm. 38., dana dalam Faisal Ismail, 1998, hlm.270. [24] Faisal Ismail, 1998, hlm.270. [25] Lihat Abdurrahman Wahid, 1980, Kebangkitan Kembali Peradaban Islam Adakah Ia?, Gema, Yogyakarta, hlm. 5., dan Faisal Ismail, 1998, hlm. 270-271. [26] Dikutip dalam Endang Basari Ananda, 1977, Percikan Pemikiran Tentang Islam, cet. Ke-1, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 51. [27] Sutan Takdir Alisjahbana, 1977, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai, Yayasan Idayu, Jakarta, hlm. 37-38. [28] Ibid, hlm. 38. [29] Ananda, Percikan Pemikiran, hlm. 32., dalam Faisal Ismail, 1998, hlm, 272. [30] Ibid, hlm. 51., dan Faisal Ismail, 1998, hlm, 272. [31] Faisal Ismail, 1998, hlm, 272. KEPUSTAKAAN Fahmi Huwaidi, Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak Antar Warga Negara, http://media. isnet.org/islam/ Bangkit/ Huwaidi1.html, akses, 2/9/2003. Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, hal, 261-272]. Hasan at-Turabi, kebangkitan Islam [fakta dan analisa], http://www. geocities. com/ kebenaran_ islam/ kebangkitan. html, akses, 2/9/2003. Nourouzzaman Shiddiqi, 1996, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment