Tuesday 1 April 2014

JUALAN ATAU DAKWAH ?



Sahabat  yang tergolong kelas ekonomi lemah bertanya: “Ustadz, saya ingin dapat shalat khusyuk, tapi kok mahal biayanya.” Singkat kata, ia bercerita bahwa kantor di mana ia bekerja didatangi “dai-sales” yang menawarkan paket shalat khusyuk plus menginap di hotel berbintang dengan biaya se juta-an lebih. Oleh karena sang bos kantor tidak sanggup mengatasi seluruh biaya pelatihan dari karyawannya, maka diusulkan kepada karyawannya bagaimana kalau

Seorang teman yang dai berteori bahwa dunia dakwah dengan dunia dagang layaknya sekeping mata uang. Begitu dekat dan tak bisa dipisah. Orang yang bisa dakwah tapi tak bisa berdagang, dijamin hidupnya mewakili para dai dan kiai desa yang mengandalkan amal saleh jama’ahnya dan pahala surga. Keikhlasan dan keteladan hidupnya menjadi penyejuk hati bagi jamaahnya yang rata-rata orang bersahaja. Mereka kharismatik, namanya harum dikenang bukan karena tarifnya yang mahal dan birokratis bila diminta mengisi pengajian, tetapi lebih karena keikhlasannya berdakwah dan mungkin tak berniat berdakwah untuk dagang.
Tetapi bagi dai yang pandai berdagang, atau berdakwah sambil berdagang, mereka memiliki kehidupan cukup layak dan populer. Mereka tak harus bersusah payah memikirkan dapur keluarganya karena “mesin ekonominya” sudah bekerja atomatis. Dai seperti ini tak ada salahnya. Seharusnya malah menjadi cermin bagi dai lainnya, karena bagaimanapun aktivitas dakwah akan makin lancar bila sang dai terlepas dari persoalan ekonomi keluarganya. Sayangnya dai semacam ini umumnya terkena hukum pasar. Bila supply dan demand tak sebanding, sewaktu- waktu “harga” akan jatuh karena sepi tanggapan. Tetapi jangan khawatir, dai hukum pasar seperti ini akan cepat berganti bila hilang dari pasaran.
Satu dai meredup, akan lahir dai-dai lain yang tidak kalah menarik. Soal keahlian agama dan kedekatannya pada Tuhan, itu off the record sifatnya. Dai tetaplah manusia biasa yang ingin hidup nyaman. Mereka bukan malaikat yang tidak ingin punya mobil mewah atau rumah mentereng. Kecerdasan mereka untuk mengolah konsep dan teori menjadi uang tentulah patut diapresiasi. Namun kalau semua pengajian yang diberi judul pelatihan membutuhkan begitu besar biaya untuk bisa mengikutinya, tentu akan sangat memberatkan kaum muslim yang pas-pasan. Gerusan materialisme dalam dakwah seyogyanya bisa diperkecil agar tidak ada kesan terjadi komoditisasi agama.

No comments:

Post a Comment