Khalifah Ar-Rasyidin atau Khulafa'ur
Rasyidin adalah empat Khalifah pertama dalam
tradisi Islam Sunni, sebagai pengganti Muhammad, yang dipandang sebagai
pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semuanya adalah
sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerusan kepemimpinan mereka bukan
berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi ciri-ciri kekhalifahan
selanjutnya.
Sistem pemilihan terhadap masing-masing
Khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat
menganggap bahwa Nabi Muhammad, tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai
pengganti beliau, yang ditolak oleh kalangan Syi'ah. Menurut Syi'ah, Muhammad
sudah jelas menunjuk pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib sesuai dengan
Hadis Ghadir Khum7.
Masa Kemajuan Islam (650-1000 M) -
Khilafah Rasyidah
Khilafah Rasyidah merupakan para pemimpin ummat Islam
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu
ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang
islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa
yang akan menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai pemimpin politik
umat Islam setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Ia Shallallahu
‘Alaihi wasallam nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin
sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau
Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah
tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah.
Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu
berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar,
sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat
ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih.
Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan
yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan
membaiatnya.
a. Perkembangan Dakwah Pada Khalifah Abu Bakar ra.
Dahulu, nama aslinya adalah Abdus Syams. Tetapi,
setelah masuk Islam namanya diganti oleh Rasulullah sehingga menjadi Abu Bakar.
Gelar Ash- Shiddiq diberikan padanya karena ia adalah orang yang pertama
mengakui peristiwa Isra' Mi'raj. Lalu, ia pun diberi gelar Ash- Shiddiq (Orang
yang percaya).
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar
Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang
dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin
yang diangkat sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat untuk
menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas
sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar
Radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah hanya dua tahun.
Pada tahun 634 M ia
meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam
negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak
mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar
Radhiallahu ‘anhu. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat
membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan
ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid
ibn Al-Walid Radhiallahu ‘anhu adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang
Riddah ini8.
Kondisi Masyarakat Pada Masa ke Khalifahan Abu Bakar
ra
Sebagai kahlifah pertama, Abu Bakar
dihadapkan pada keadaan masyarakat sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi
perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi
kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan
batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua
golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang yang murtad, tidak mau
membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi).
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa
Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda
pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu selalu mengajak
sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri,
barulah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid
ibn Walid Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah
al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat
panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan
dan Syurahbil Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh
Usamah ibn Zaid Radhiallahu ‘anhu yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat
tentara ini, Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu diperintahkan meninggalkan
Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu meninggal dunia,
sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan
kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan" nya, Umar ibn Khatthab
al-Faruq Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu sakit dan merasa
ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian
mengangkat Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya dengan
maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut
ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar
Radhiallahu ‘anhu . Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulillah
(pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi
orang-orang yang beriman)9.
b. Perkembangan Dakwah Pada Masa Khalifah Umar ra
Seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga
menjadi khalifah kedua (634-644) dari empat Khalifah Arasyidin10. Nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul
Uzza, dilahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisyi.
Ayahnya bernama Khaththab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah
binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruq
yang berarti orang yang bisa memisahkan antara yang haq dan bathil.
Keluarga Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah,
ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang.
Umar juga dikenal, karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di
Mekkah.Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah
kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan
setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk,
seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria
sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash
Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash
Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun
641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah,
sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan
dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada
tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan
Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar
Radhiallahu ‘anhu segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh
administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria,
Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang
perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran
gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga
mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah selama sepuluh tahun
(13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh
seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan
penggantinya, Umar Radhiallahu ‘anhu tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu
Bakar Radhiallahu ‘anhu. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka
untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut
adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf
Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Setelah Umar Radhiallahu ‘anhu wafat, tim ini
bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah,
melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu11.
c. Perkembangan Dakwah Pada Masa Utsman bin Affan ra
Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655
M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti
sampai di sini.
Pemerintahan Usman Radhiallahu ‘anhu berlangsung
selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak
puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman
Radhiallahu ‘anhu memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar Radhiallahu
‘anhu. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah
seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar
berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah
kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655
M, Utsman Radhiallahu ‘anhu dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari
orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu12.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat
berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu adalah
kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting
diantaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang
dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan
Utsman Radhiallahu ‘anhu hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak
anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman Radhiallahu
‘anhu laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak
dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan
bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol
oleh Usman Radhiallahu ‘anhu sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan
oleh Abdullah bin Saba’.
Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu yang paling berjasa
membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian
air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.Mulai dari masa Abu Bakar
sampai kepada Ali Radhiallahu Ta’ala anhum ajma’in dinamakan periode Khilafah
Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa'
al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah
para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Setelah periode ini,
pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun
temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah
bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu
bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan para penguasa
sesudahnya sering bertindak otoriter.
d. Perkembangan Dakwah Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu wafat, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.
Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya,
ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh
Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi
karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya
kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara
orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu13.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu
‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali
Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Radhiallahu ‘anhu ,
dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu ‘anhu yang telah
ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu
‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu
secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat
pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah
Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan
lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘anha
ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali
Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di
Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas
pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil
memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu
bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan pasukan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran
terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri
dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah,
bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang
keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu. Akibatnya, di ujung masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat Islam terpecah menjadi
tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’
al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali Radhiallahu ‘anhu, dan
al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak
menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu.
Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan
tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu semakin
kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh
oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Kedudukan sebagai khalifah kemudian dijabat oleh
anaknya al-Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhuma selama beberapa bulan. Namun,
karena al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menginginkan perdamaian dan menghindari
pertumpahan darah, maka al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabaran
kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu . Dan akhirnya penyerahan
kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan
politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan Radhiallahu ‘anhu . Di sisi lain,
penyerahan itu juga menyebabkan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu menjadi penguasa
absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam
sejarah sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa
yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani
Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Ketika itu
wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh
dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan
kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai
pengalaman politik yang memadai.
thank bro
ReplyDelete