Saturday 29 June 2013

ARTI DAN RUANG LINGKUP METODE DAKWAH


Islam sebagai al-Din Allah1 merupakan suatu pedoman hidup umat, sekaligus sebagai acuan dan kerangka tata nilai kehidupan. Oleh karena itu, ketika komunitas muslim berfungsi sebagai sebuah komunitas yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral iman, Islam dan ketakwaan, maka merupakan suatu komunitas yang tidak bersifat eksklusif dan bertindak sebagai al-umma al-wasatan2 sebagai teladan di tengah arus kehidupan yang serba kompleks, penuh dengan dinamika perubahan, dan penuh dengan tantangan.
Masuknya berbagai ajaran atau pemahaman yang tidak relevan dengan nilai-nilai agama, membuat agama seolah-olah tidak berdaya bahkan yang lebih parah lagi ketika
agama tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup dalam berbagai bidang. Hal ini mungkin juga menerpa umat Islam bila agama tidak lagi berfungsi secara efektif dalam kehidupan yang kolektif. Tentu saja keadaan seperti ini dapat berpengaruh apabila pemeluk agama gagal untuk memberikan suatu peradaban alternatif yang benar yang dituntut oleh setiap perubahan sosial yang terjadi.
Di sisi lain, kehidupan umat manusia sedikit banyak telah dipengaruhi oleh gerakan modernisme yang terkadang membawa kepada nilai-nilai baru dan tentunya tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Tidak heran bila dalam perkembangnnya modernisme memberikan tempat dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap materi. Implikasinya adalah kekuatan iman yang selama ini mereka miliki semakin mengalami degradasi. Puncaknya adalah sebagian umat Islam sekarang ini semakin terjerat oleh kehampaan spiritual.
Melihat fenomena yang terjadi, umat Islam dilanda keprihatinan yang dapat merusak moral keimanan sehingga diperlukan suatu solusi terbaik yang dikehendaki oleh Islam yaitu melaksanakan dakwah secara efektif dan efisien serta berkesinambungan.   Islam adalah agama dakwah3 artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Bahkan maju mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya,4 karena itu al-Quran menyebut kegiatan dakwah dengan perkataan Ahsanul Qaula. Dengan kata lain dakwah menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam.
Kita dapat membayangkan apabila kegiatan  dakwah mengalami kelumpuhan yang disebabkan oleh berbagai factor terlebih sekarang ini di era globalisasi, di mana  berbagai informasi masuk secara cepat instan yang tidak dapat dibendung lagi. Kita sebagai umat Islam harusd dapat memilih dan menyaring informasi tersebut sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena merupakan suatu kebenaran, maka Islam harus tersebar luas dan penyampaian kebenaran tersebut merupakan tanggung jawab umat Islam secara keseluruhan, sesuai dengan missinya sebagai agama Rahmatan Lil Alamin yang harus ditampilkan dengan wajah yang menarik supaya umat lain                                                                                                                                                                                                                           beranggapan dan mempunyai pandangan bahwa kehadiran Islam bukan sebagai ancaman bagi eksistensi mereka melainkan pembawa kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan mereka sekaligus sebagai pengantar menuju kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.
Implikasi dari pernyataan Islam sebagai agama dakwah menuntut umatnya agar selalu menyampaikan dan menyerukan dakwah, karena kegiatan ini merupakan aktivitas yang tidak akan pernah selesai selama kehidupan dunia masih berlangsung dan akan terus melekat dalam berbagai situasi dan kondisi. Di samping itu yang harus disadari adalah bahwa dakwah Islam merupakan tugas suci yang dibebankan kepada  setiap muslim di mana dan kapan pun ia berada sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan As-Sunnah. Dakwah Islam salah satunya bertujuan untuk memancing dan mengharapkan potensi fitri manusia agar eksistensi mereka mempunyai makna di hadapan Tuhan dan sejarah kehidupan.
Yang perlu harus diingat lagi bahwa tugas dakwah adalah tugas umat secara keseluruhan bukan hanya tugas kelompok tertentu umat Islam.5 Oleh karena itu, agar dakwah dapat mencapai sasaran-sasaran strategis jangka panjang, maka tentunya diperlukan suatu system manajerial komunikasi baik dalam penataan perkataan maupun perbuatan yang dalam banyak hal sangat relevan dan terkait dengan nilai- nilai keislaman.
Dengan adanya kondisi seperti itu, maka para da’i dituntut mepunyai pemahaman yang mendalam bukan saja menganggap bahwa dakwah dalam frame amar makruf nahi munkar hanya sekedar menyampaikan saja melainkan harus memenuhi beberapa syarat agar kegiatan dakwah terlaksana secara efektif dan tepat sasaran. Di antara persyaratan yang dipahami oleh para da’i yaitu mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah secara tepat, memilih metode yang representative, menggunakan bahasa yang bijaksana dan sebagainya. Dan dari semua aspek di atas, yang akan di bahas ini adalah tentang metode dakwahnya.
Arti Metode Dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta (melalui) dan  hodos (jalan, cara).6  Dengan demikian metode dapat diartikan sebagai cara atau jalan yang harus  dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman yaitu methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan, dalam bahasa Arab disebut dengan thariq.7 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan metode adalah cara yang telah diatur dengan melalui proses pemikiran untuk mencapai maksud tertentu.
Sedangkan arti dakwah menurut pendapat beberapa pakar ilmuwan adalah di antaranya sebagai berikut:
1. Pendapat Bakhial Khauli; yang disebut dengan dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain.8
2. Pendapat Syekh Ali Mahfudz; dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.9

Pendapat ini juga senada dengan apa yang telah dikemukakan oleh Al- Ghazali10 bahwa amar makruf nahi munkar adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam.
Dari pengertian di atas, dapat diambil pengertian bahwa yang disebut dengan metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.11 Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human oriented yang menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.
Bentuk-Bentuk Metode Dakwah


äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
d ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ

Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)
Petikan ayat di atas menunjukkan bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu:
1. Al-Hikmah
Kata hikmah dalam al-Quran disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah hukman yang dapat diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencgah dari kedzaliman. Dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal- hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah. Menurut al-Ashma’I, asal mula didirikan hukumah (pemerintahan) ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan zalim.
Maka digunakan istilah hikmatul lijam karena kata lijam adalah (cambuk atau kekang kuda), yang digunakan untuk mencegah tindakan hewan.12 Al-Hikmah berarti tali kekang pada binatang sebagaimana dijelaskan dalam kitab Misbahul Munir. Diartikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang kudanya dapat mengendalikan kudanya dan mengaturnya dengan baik baik ketika diperintahkan untuk lari atau berhenti.
Dari kiasan ini maka orang yang memiliki hikmah berarti orang yang mempunyai kendali diri yang dapat mencegah diri dari hal-hal yang kurang bernilai atau menurut Ahmad bin Munir al-Muqri al- Fayumi berarti dapat mencegah dari perbuatan yang hina.13
M. Abduh perpendapat bahwa hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lapaz tetapi banyak makna atau dapat diartikan meletakkan sesuatu pada tempat atau semestinya.14 Orang yang memiliki hikmah disebut al-hakim yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu. Kata hikmah juga sering dikaitkan dengan filsafat karena filsafat juga mencari pengetahuan hakikat segala sesuatu. Sebagai metode dakwah, al-himah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan.
 Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud an- Nasafi, arti hikmah yaitu:
Artinya: Dakwah bil hikmah adalah dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan.15
Menurut al-Kasysyaf-nya Syekh Zamakhsyari, al- hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kasmaran. Selanjutnya Syekh Zamakhsyari mengatakan hikmah juga diartikan sebagai al-Quran yakni ajaklah mereka (manusia) mengikuti kitab yang memuat hikmah.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa al- hikmah adalah merupakan kemampuan da’I dalam memilih dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. di samping itu juga, al-hikmah merupakan kemampuan da’I dalam menjelaskan doktrin- doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al- hikmah adalah sebagai sebuah system yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah.
Dalam dunia dakwah, hikmah adalah salah satu penentu sukses tidaknya kegiatan dakwah. Dalam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikanm strata social dan latar belakang budaya, para da’I memerlukan hikmah sehingga materi dakwah yang disampaikan mampu masuk ke ruang hati para mad’u dengan tepat. Oleh karena itu para da’I dituntut untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya. Di samping itu, da’I juga akan berhadapan dengan realitas perbedaan agama dalam masyarakat yang heterogen.
Kemampuan da’I untuk bersifat objektif terhadap umat lain, berbuat baik dan bekerja sama dalam hal-hal yang dibenarkan agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya adalah bagian dari hikmah dalam dakwah. Da’i yang sukses biasanya berangkat dari kepiawaannya dalam memilih kata. Pemilihan kata adalah hikmah yang sangat diperlukan dalam dakwah.
Da’I tidak boleh hanya sekedar menyampaikan ajaran agama tanpa mengamalkannya. Seharusnya da’I adalah orang yang pertama yang mengamalkan apa yang diucapkannya. Kemampuan da’I untuk mrnjadi contoh nyata umatnya dalam bertindak adalah hikmah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh seorang da’i. dengan amalan nyata yang bisa langsung dilihat oleh masyarakatnya, para da’I  tidak terlalu sulit untuk harus berbicara banyak, tetapi gerak dia adalah dakwah yang jauh lebih efektif dari sekedar berbicara.
Hikmah merupakan suatu term karakteristik metode dakwah sebagaimana termaktub dalam QS. An- Nahl ayat 125. Ayat teersebut mengisyaratkan pentingnya hikmah untuk menjadi sifat dari metode dakwah dan betapa pentingnys dakwah mengikuti langkah-langkah yang mengandung hikmah. Ayat tersebut seolah-olah menunjukkan metode dakwah praktis kepada para da’I yang mengandung arti mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mengajak manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan akidah yang benar. Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa mengajak manusia kepada hakikat yang murni dan apa adanya tidak mungkin dilakukan tanpa melalui pendahuluan atau tanpa mempertimbangkan iklim dan medan kerja yang sedang dihadapi.
Dengan demikian jika hikmah dikaitkan dengan dunia dakwah, maka ia merupakan peringatan kepada para da’I untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja. Sebaliknya, mereka harus menggunkan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap Islam. Sebab sudah jelas, dakwah tidak akan berhasil jika metode dakwahnya monoton. Ada sekelompok orang yang hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh gairah dan berapi-api, sementara kelompok yang lain memerlukan iklim dakwah yang sejuk.
Hikmah merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang da’I dalam berdakwah. Karena dari hikmah ini akan lahir kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah baik secara metodologis maupun praktis.
Kesimpulannya
hikmah bukan hanya sebuah pendekatan satu metode, akan tetapi kumpulan beberapa pendekatan dalam sebuah metode.  Dalam dunia dakwah: hikmah bukan hanya berarti “mengenal strata mad’u” akan tetapi juga “Bila harus bicara, bila harus diam”. Hikmah bukan hanya “mencari titik temu” tetapi juga “toleran yang tanpa kehilangan sibghah”. Hikmah bukan hanya dalam kontek “memilih kata yang tepat” tetapi juga “cara berpisah”. Dan akhirnya hikmah adalah uswatun hasanah serta lisanul hal. 2.
 Al-Mau’idzatil Hasanah
Term mau’idzah hasanah dalam perspektif dakwah sangat popular, bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan seperti mauled Nabi dan Isra Mi’raj. Istilah mau’idzah hasanah mendapat porsi khusus dengan arti “acara yang ditunggu-tunggu” yang merupakan inti acara dan biasanya menjadi salah satu target keberhasilan suatu acara. Namun demikian agar tidak menjadi salah paham, maka di sini akan dijelaskan pengertian mau’idzah hasanah. Secara bahasa mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata yaitu mau’idzah dan hasanah. Kata mau’idzah berasal dari bahasa Arab yaitu wa’adza – ya’idzu – wa’dzan yang
berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan.16
Adapun secara terminology, ada beberapa pengertian di antaranya:
1. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh Hasanuddin adalah sebagai berikut:
Al-Mau’idzatil hasanah adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Quran.17
2. Menurut Abdul Hamid Al-Bilali; mau’idzatil hasanah merupakan salah satu metode dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan cara memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.18
Dari beberapa definisi di atas, mau’idzah hasanah mengandung beberapa pengertian, di antaranya:
a. Nasihat atau petuah
b. Bimbingan dan pengajaran (pendidikan)
c. Kisah-kisah
d. Kabar gembira dan peringatan
e. Wasiat (pesan-pesan positif)
Dari beberapa pengertian di atas, istilah mau’idzah hasanah akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.
3. Al-Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan
Dari segi etimology lapadz mujadalah diambil dari kata jadala yang artinya memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan faala menjadi jaadala dapat bermakna berdebat. Berarti arti mujadalah mempunyai pengertian perdebatan.19 Kata jadala dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk menyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.20 Dari segi istilah terdapat beberapa pengertian al- mujadalah (al-hiwar).
Al-mujadalah berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.21 Sedangkan menurut Sayyid Muhammad Thantawi adalah suatu upaya bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.22
Menurut tafsir An-Nasafi, kata mujadalah mengandung arti berbantahan dengan jalan sebaik-baiknya antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu (perkataan) yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal pikiran.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan mujadalah adalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Daftar Pustaka
Abdul Hamid Al-Bilai, Fiqh al-Dakwah Fi Ingkar al-Mungkar, (Kuwait: Dar Al-Dakwah), 1989
Abu Hayyan, Al-Bahrul Muhith, Jilid I Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik; Upaya membingkai peradaban, (Jakarta: Pustaka Dinamika), 1999
Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Jakarta: Pustaka Progresif), Cet XIV, 1997
Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet III, 1998
Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah, (Malaysia: Nur Niaga SDN. BHD), Cet I, 1996
Abdul Kadir Sayyid Abdul Rauf, Dirasah fi ad-Dakwah al- Islamiyah, (Kairo: Dar El-Tiba’ah Al-Mahmadiyah, Cet I, 1987
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), Cet I, 1996
Lois Ma’luf, Munjid Fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Dar el-Fikr), 1986
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), Cet I, 1991
M. Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Jakarta: Al- Amin Press), Cet.I, 1997
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), Cet I, 2000
Sayyid Muhammad Thanthawi, Adab al-Khiwar Fil Islam, (Kairo: Dar El-Nahdhah), diterjemahkan oleh Zuhaeri Misrawi dan Zamroni Kamal, Etika Berdebat dalam Islam, (Jakarta: Azan), Cet I, 2001, lih. Pada kata pengantar.
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Media Pratama), Cet I, 1997
World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Fi Ushulil Hiwar,(Kairo: Maktabah Wahbah), diterjemahkan oleh Abdus Salam dan Muhil Dhafir dengan judul Etika Diskusi,(Jakarta: Era Inter Media), Cet II, 2001

1 comment: