1.1. Aspek
Sosial Budaya Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Bayi
Kesehatan anak sekarang ini sangan memprihatinkan.
Banyak sekali kasus anak-anak yang terkena penyakit tertentu karena tidak
tercukupi kebutuhan gizinya. Seperti banyak anak-anak di pelosok desa yang
orangtuanya hanya sekedar memberi kebutuhan gizi sekedarnya saja pada anak
mereka. Terutama mitos mengenai kesehatan anak, orang zaman dahulu mempercayai
bahwa jika melakukan sesuatu yang telah lama dilakukan oleh pendahulunya maka
mereka juga akan melakukan itu pada anak-anak mereka. Padahal ini malah akan
menjadi penghambat kesehatan anak. Sehingga...>>>
anak mudah sekali terserang
penyakit.
Aspek budaya (mitos) yang berkembang di masyarakat
yang berhubungan dengan kesehatan anak :
1. Jika rambut anak anda basah
maka anak anda akan masuk angin. Seorang Pakar Kesehatan Jims Scars mengatakan
dari riset yang pernah dilakukannya di Inggris dimana setengah kelompok anak
dibiarkan berada dalam ruangan hangat sedangkan sisanya berada di lorong dengan
kondisi basah kuyup. Setelah beberapa jam, kelompok yang berada di lorong tadi
tidak mengalami flu. " Kedinginan belum tentu mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh secara langsung".
2. Anak perlu makan ketika
kedinginan dan meminum banyak air ketika demam
Hal yang seharusnya dilakukan
adalah menjaga keseimbangan komposisi cairan tubuh . Jika seseorang banyak
cairan maka akan mudah terserang penyakit begitupun sebaliknya. Meskipun
demikian anak tidak perlu mengkonsumsi minuman elektrolit bila tidak mengalami
dehidrasi ataupun diare.
3. Anak akan kehilangan 75% panas
melalui kepala
Mitos ini berkembang karena
keharusan bahwa kepala bayi yang baru lahir ditutupi ketika cuaca dingin
ataupun panas. Hal tersebut dibenarkan karena kepala bayi memiliki presentasi
lebih besar daripada bagian tubuh yang lainnya. Tetapi saat beranjak dewasa ,
keluarnya panas melalui kepala hanya10%, sisanya keluar melalui kaki, lengan ,
dan tangan.
4. Makanan yang keluar dari mulut
ibu yang terbaik bagi bayi
Suku Sasak di Lombok, para ibu nifas biasa memberikan
nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya terlebih dahulu) kepada
bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat . Mereka percaya bahwa apa yang
keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi.
5. Asupan lain ketika ASI belum
keluar
Masyarakat Kerinci di Sumatera
Barat , pada usia 1 bulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi, pisang ,
dan lain-lain. Dan ada juga kebiasaan memberikan roti,nasi yang sudah dilumatkan
ataupun madu, dan teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar.
6. Kolostrum dianggap sebagai
susu yang sudah rusak
Masyarakat tradisional
menganggap kolostrum sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada
bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap
kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah, dan masuk angin pada bayi.
Aspek sosial (mitos) yang berkembang di masyarakat
yang berkaitan dengan kesehatan anak :
1. Dukun sebagai
penyembuh
Masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi
yang mengalami kejang-kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan
dipercaya hanya dukun yang dapat menyembuhkannya.
2. Timbulnya penyakit sebagai
pertanda
Demam atau diare yang terjadi
pada bayi dianggap pertanda bahwa bayi tersebut akan bertambah kepandaiannya,
seperti sudah bisa untuk berjalan.
3. Kesehatan anak juga
dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial. Dimana hingga kini masyarakat baik
di perkotaan maupun pedesaan masih menjalankan kepercayaan tersebut. Hal
tersebut disebabkan karena kebiasaan yang telah turun temurun terjadi . Tetapi
ada baiknya jika masyarakat juga mempertimbangkan dengan pemahaman menurut para
medis karena para medis lebih memahami tentang mana yang baik dalam tumbuh
kembang kesehatan anak.
1.2.
Aspek Sosial Budaya Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Ibu
Kesehatan Ibu dan anak (KIA) di Indonesia selalu
menjadi masalah pelik yang tak kunjung membaik keadaannya. Situasi kesehatan
Ibu dan bayi baru lahir belum di Indonesia sama sekali belum dikatakan
menggembirakan.
Aspek budaya yang berhubungan dengan kesehatan Ibu
hamil :
I.3.1. Jawa Tengah :
Bahwa ibu hamil pantang makan
telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan
menyebabkan perdarahan yang banyak.
I.3.2. Jawa Barat :
Ibu yang kehamilannya memasuki
8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil
dan mudah dilahirkan.
I.3.3. Masyarakat Betawi :
Berlaku pantangan makan ikan
asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi
asin.
I.3.4. Daerah Subang :
Ibu hamil pantang makan dengan
menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan
mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi
yang dilahirkan juga rendah.Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan
kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti
pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh
beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan.
(Wibowo,1993).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau
anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun
anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya,
ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI;
ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi
kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh
dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya
mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula;
memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan maksud untuk
membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau
memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
Aspek sosial yang di kalangan masyarakat terhadap
kesehatan Ibu
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan
pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara
dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang
berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih
adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah
banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu
rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan
penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau
bertahan hidup.
Penyebab klasik kematian ibu akibat
melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (kejang-kejang
yangberlebihan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara
tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang
baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan
dalam keluarga.
Umumnya, terutama di daerah pedesaan,
keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan
persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang
seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan
akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang
seharusnya dilakukan dengan cepat.
Selain dari faktor keterlambatan dalam
pengambilan keputusan,adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat
bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
1.4. Hubungan Aspek Sosial Terhadap Pembangunan
Kesehatan
I.4.1. Pengertian
Kesehatan
Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah
upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan
pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara
sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan
pengetahuan mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang
lain.
Definisi
yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green dan para koleganya yang
menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang
dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela terhadap perilaku yang kondusif
bagi kesehatan. Data terakhir menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 80 persen
rakyat Indonesia tidak mampu mendapat jaminan kesehatan dari lembaga atau
perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan, seperti Akses, Taspen, dan
Jamsostek. Golongan masyarakat yang dianggap 'teranaktirikan' dalam hal jaminan
kesehatan adalah mereka dari golongan masyarakat kecil dan pedagang. Dalam
pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi lebih pelik, berhubung dalam manajemen
pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa kelompok manusia, tetapi juga
sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri.
UU
No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara
sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai
satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan
di dalamnya kesehatan jiwa merupakanbagian integral kesehatan.
I.4.3.Konsep
Sehat dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat
Konsep
sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada
faktor–faktor lain diluar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor
sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu
hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain.
Banyak
ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain
bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep
sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan
sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun
sosio budaya.
Definisi
sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun
(kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas
kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari)
seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan
kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit.
Masalah
kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai
masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, social
budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat
kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well
being , merupakan resultante dari 4 faktor yaitu:
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua
dihubungkan dengan ecological balance.
3. Heredity
atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan
sebagainya.
4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari
empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang
paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan
masyarakat.
Tingkah
laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor
-faktor seperti kelas social,perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman
kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari
variable-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan
pasien.
Istilah
sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan pengertian profesional yang
beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya
dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu,
sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek.
WHO
mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani,
rohani, maupun kesejahteraan social seseorang. Sebatas mana seseorang dapat
dianggap sempurna jasmaninya. Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di
pandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek
biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang
cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang
mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya:
hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat
menjalankan peran normalnya secara wajar.
Seorang
pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai
pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit
adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di
badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit
makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau
istirahat saja.
Persepsi
masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang
dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan
ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu
generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
Berikut
ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih
ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk
Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh
dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan
bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang
melanggar ketentuannya.
Pelanggaran
dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan
diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan
muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa
hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum
dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan
sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan
ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya
penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk,
tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya.
Pada
sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan
cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi
oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.
I.4.2. Budaya Masyarakat Daerah Pada Masa Kehamilan
1. Upacara Mengandung Empat Bulan
Dulu
Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan
belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah
disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan sebagai
pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah betul-betul
hamil.
Namun
sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat kehamilan
menginjank empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat
ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara
Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a selamat,
biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan
selamat.
2. Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban
Upacara
Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung
7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang
melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup,
maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur
dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja
terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari
dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan
pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan
surat Maryam.
Di
samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil ,
dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan.
Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin
seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang
dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa.
Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil,
hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin
seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah
digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan
agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin,
seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan
manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya
mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.
Sesudah
selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak
kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu
kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka
membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk
bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang
sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb.
Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah
rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
3. Upacara Mengandung Sembilan Bulan
Upacara
sembilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam
upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat
lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar
bubur lolos, sebagai simbul dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan
waktu melahirkan, lolos. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi tumpeng
atau makanan lainnya.
4. Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara
Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari
sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga,
perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau
kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua
itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan.
Pada
pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung
beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang
kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang
hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan
dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang
dilaksanakan.
I.3.3. Peranan
Seorang Bidan
Menjadi
seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik maupun
mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Di Indonesia ini jumlah
bidan memang tidak sedikit, tetapi untuk di pelosok daerah masih banyak
masyarakat yang belum paham akan arti dari bidan. Bidan yang siap mengabdi di
kawasan pedesaan, artinya ia juga harus siap dengan konsekuensi yang akan
terjadi. Tak mudah mengubah pola pikir ataupun kebiasaan masyarakat. Apalagi,
masalah proses persalinan. Kehadiran tenaga medis dengan spesialisasi melayani
persalinan kaum perempuan, bagi warga Mercu dan Muktitama, termasuk hal baru.
Selama ini, apabila ada yang akan melahirkan mereka pada umumnya mengandalkan
dukun.
Bahkan,
terdapat tradisi tujuh bulanan. Ibu hamil dengan usia kandungan tujuh bulan,
telah diharuskan menentukan siapa dukun yang akan membantu persalinan. “Ini
tantangan cukup berat. Kita takut nantinya, terjadi risiko yang tidak
diinginkan pasca melahirkan. Misalnya infeksi atau penularan penyakit selama
persalinan berlangsung. Seperti pemotongan tali pusat, ada yang masih pakai
gunting biasa. Padahal, gunting itu sebelumnya harus disterilkan,”terang wanita
yang menempati rumah dinas di Puskesmas Pembantu (Pustu) itu.
Ujung-ujungnya,
ketika persalinan bermasalah dan dukun sudah angkat tangan, baru di bawa ke
bidan. Pernah suatu kali, kata Yanti, seorang ibu sehari semalam mengejan
kesakitan. Sudah ditolong oleh dukun, tapi sang bayi tak kunjung keluar.
Akhirnya dijemputlah bidan.
“Waktu
saya datang, bayinya lahir dengan selamat. Saya pikir masyarakat mulai percaya
bidan, tapi ternyata rupanya ndak juga,”katanya lalu tersenyum.
Sejak
bertugas di kampung yang berpenduduk lebih dari 1.200 jiwa itu, hingga
sekarang, Yanti mengaku baru dua kali menangani proses persalinan. Selebihnya,
membantu pasien rujukan dari dukun. Walau begitu, ia maklum dengan cara
berfikir warga di sana. “Secara perlahan, mungkin nantinya mereka akan mengerti
juga, betapa pentingnya tenaga kesehatan dalam hal persalinan,”tuturnya tegar.
Informasi
yang berhasil dirangkum Padang Ekspres, sedikitnya terdapat tiga dukun beranak
yang masih aktif. Yanti memprediksikan, antara bidan dan dukun, kisarannya 8:2.
Dari sepuluh orang, delapan orang lebih memilih ke dukun dan hanya dua orang
yang lebih percaya pada bidan.
Di
tanya apakah kecendrungan ini ada hubungannya dengan tarif persalinan yang
dibanderol oleh bidan? Sontak, Yanti menggeleng. Bahkan, katanya biaya yang
ditawarkan dukun ada yang sedikit lebih tinggi dari bidan. Di samping itu, di
tempat bidan berlaku Jamkesmas atau Jamkesda. Tapi, hal ini bukanlah jaminan
yang bisa menggaet hati para ibu-ibu.
Kendala
yang dihadapi bides itu, tak hanya seputar masalah pendekatan kepada ibu-ibu
hamil. Sebagai daerah pedalaman, istri Irmansyah Putra itu, harus akrab dengan
segala keterbatasan infrastruktur. Antara lain, tentang jaringan listrik yang
belum masuk di kampung itu. Begitupula masalah air bersih. Krisis air paling
terasa bila hujan tak kunjung turun.
I.3.4. Upaya Pemerintah Dalam Pembangunan Kesehatan
Untuk
mencapai sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yaitu Angka Kematian Ibu
(AKI) sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) menjadi 23 per 1.000 KH pada tahun 2015, perlu upaya percepatan yang
lebih besar dan kerja keras karena kondisi saat ini, AKI 307 per 100.000 KH dan
AKB 34 per 1.000 KH. Hal itu sambutan Menkes yang dibacakan Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan dr. Ratna Rosita Hendardji, MPH dalam acara Kampanye
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Penggunaan
Buku KIA, bekerja sama dengan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu
(SIKIB), di Jakarta (3/2/2010).
“Surga
ada di bawah telapak kaki ibu”, pepatah ini menunjukkan betapa pentingnya
posisi ibu di masyarakat, namun kenyataannya perhatian terhadap keselamatan ibu
saat melahirkan masih perlu ditingkatkan, demikian pula bayi yang dilahirkan
harus sehat dan tumbuh kembang dengan baik, ujar Menkes.
Menurut
Menkes, Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya percepatan
penurunan AKI dan AKB antara lain mulai tahun 2010 meluncurkan Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) ke Puskesmas di Kabupaten/ Kota yang difokuskan
pada kegiatan preventif dan promotif dalam program Kesehatan Ibu dan Anak.
Untuk
tahun ini, sebanyak 300 Puskesmas di wilayah Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, Maluku dan Papua memperoleh dana operasional sebesar Rp 10 juta per
bulan. Mulai tahun 2011, seluruh Puskesmas yang berjumlah 8.500 akan mendapatkan
BOK.
Kematian
ibu disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil
(eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan
penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
kekurangan oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi
baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi
dan budaya.
Kondisi
geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat
permasalahan ini. Beberapa hal tersebut mengakibatkan kondisi 3 terlambat
(terlambat mengambil keputusan, terlambat sampai di tempat pelayanan dan
terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 terlalu (terlalu tua,
terlalu muda, terlalu banyak, terlalu rapat jarak kelahiran), tambah Menkes.
Keterlambatan
pengambilan keputusan di tingkat keluarga dapat dihindari apabila ibu dan
keluarga mengetahui tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta tindakan yang
perlu dilakukan untuk mengatasinya di tingkat keluarga, ujar Menkes.
Menkes
menambahkan, salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan
indikator proksi (persalinan oleh tenaga kesehatan) dalam penurunan Angka
Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi adalah Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K). Program dengan menggunakan “stiker” ini, dapat
meningkatkan peran aktif suami (suami Siaga), keluarga dan masyarakat dalam
merencanakan persalinan yang aman. Program ini juga meningkatkan persiapan
menghadapi komplikasi pada saat kehamilan, termasuk perencanaan pemakaian alat/
obat kontrasepsi pasca persalinan.
Selain
itu, program P4K juga mendorong ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan,
bersalin, pemeriksaan nifas dan bayi yang dilahirkan oleh tenaga kesehatan
terampil termasuk skrining status imunisasi tetanus lengkap pada setiap ibu
hamil. Kaum ibu juga didorong untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD)
dilanjutkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan.
“P4K
berperan dalam pencapaian salah satu target program 100 hari Kementerian
Kesehatan yaitu terdatanya ibu hamil di 60.000 desa di seluruh Indonesia. Saat
sudah terdata 3.122.000 ibu hamil di 67.712 desa,” papar Menkes.
Perencanaan
persalinan dapat dilakukan manakala ibu, suami dan keluarga memiliki
pengetahuan mengenai tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas; asuhan
perawatan ibu dan bayi; pemberian ASI; jadwal imunisasi; serta informasi
lainnya. Semua informasi tersebut ada di dalam Buku KIA yang diberikan kepada
ibu hamil setelah didata melalui P4K. Buku KIA juga berfungsi sebagai alat pemantauan
perkembangan kesehatan ibu hamil serta pemantauan pertumbuhan bayi sampai usia
5 tahun. Buku ini dapat diperoleh di Puskesmas, jelas Menkes.
Pada
kesempatan tersebut Menkes mengajak semua ibu hamil, suami dan keluarga
melaksanakan P4K. Kepada organisasi profesi dan rumah sakit menyediakan dan
menggunakan Buku KIA di sarana kesehatan lebih ditingkatkan.
Menurut
Menkes, upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan akan lebih optimal
apabila semua khususnya Pemerintah Daerah berperan aktif, mendukung dan
melaksanakan semua program percepatan penurunan AKI dan AKB. Selain itu juga
perlu dukungan pihak swasta baik dalam pembiayaan program kesehatan melalui
CSR-nya maupun partisipasi dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan swasta.
Menkes
berharap kampanye ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat Indonesia dan dapat
diikuti oleh pihak-pihak lain sehingga “Ibu Selamat, Bayi Sehat, Suami Siaga”
menjadi slogan bersama.
Menkes
juga menyambut gembira atas keterlibatan SIKIB dalam kampanye P4K sebagai upaya
memajukan kesehatan ibu dan anak. Menkes juga menyampaikan apresiasi atas peran
PKK yang telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam pelaksanaan
program kesehatan terutama KIA di lapangan.
1.4. PENGERTIAN PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA
1.4.1. Pengertian
1. Pembangunan
Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) adalah rangkaian kegiatan masyarakat yang
dilakukan berdasarkan gotong-royong, swadaya masyarakat dalam rangka menolong
mereka sendiri untuk mengenal dan memecahkan masalah atau kebutuhan yang
dirasakan masyarakat, baik dalam bidang kesehatan maupun bidang dalam bidang
yang berkaitan dengan kesehatan, agar mampu memelihara kehidupannya yang sehat
dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat.
2.
PKMD adalah kegiatan pelayanan kesehatan yang pelaksanaannya didasarkan melalui
sistem pelayanan puskesmas, dimana dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan
kesehatan oleh lembaga ini diikutsertakan anggota-anggota masyarakat di
Pedusunan melalui segala pengarahan untuk menimbulkan kesadaran secara aktif di
dalam ikut membantu memecahkan dan mengembangkan usaha-usaha kesehatan di
Desanya. (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 1976)
3.
PKMD adalah kegiatan atau pelayanan kesehatan berdasarkan sistem pendekatan
edukatif masalah kesehatan melalui Puskesmas dimana setiap individu atau
kelompok masyarakat dibantu agar dapat melakukan tindakan-tindakan yang tepat
dalam mengatasi kesehatan mereka sendiri. Disamping itu kegiatan pelayanan
kesehatan yang diberikan juga dapat mendorong timbulnya kreativitas dan
inisiatif setiap individu atau kelompok masyarakat untuk ikut secara aktif
dalam program-program kesehatan di daerahnya dan menentukan prioritas program
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang bersangkutan. (Kanwil
Depkes Jawa Timur)
4.
Pokok-pokok pemikiran yang fundamental yang melandasi definisi PKMD tersebut
diatas ditekankan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut :
a. Untuk
keberhasilan PKMD di suatu daerah herus memanfaatkan pendekatan operasional
terpadu (comprehensive operational approach) yang meliputi pendekatan secara
sistem (system approach), pendekatan lintas sektoral dan antar program (inter
program and inter sektoral approach), pendekatan multi displiner (multi
displionary approach), pendekatan edukatif (educational approach), dsb.
b. Dalam
pembinaan terhadap peran serta masyarakat melalui pendekatan edukatif,
hendaknya faktor ikut sertanya masyarakat ditempatkan baik sebagai komplemen
maupun suplemen terdepan dalam penunjang sistem kesehatan nasional ini.
c. Sebagai
kegiatan yang dikelola sendiri oleh masyarakat, PKMD secara bertahap dan terus
menerus harus mampu didorong untuk membuka kemungkinan-kemungkinan menumbuhkan
potensi swadayanya melalui pemerataan akan peranserta setiap individu di desa
secara lebih luas dan lebih nyata
d. Puskesmas
sebagai pengarah (provider) setempat perlu meningkatkan kegiatan diluar gedung
(ourt door activities) untuk mengarahkan “intervensinya “ di dalam memacu
secara edukatif terhadap kelestarian kegiatan PKMD oelh masyarakat dibawah
bimbingan LSD.
e. Kegiatan
masyarakat tersebut diharapkan muncul atas kesadaran dan prakarsa masyarakat
sendiri dengan bimbingan dan pembinaan dari pemerintah secara lintas program
dan lintas sektoral. Kegiatan tersebut tak lain merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional umumnya dan pembangunan desa khususnya. Puskesmas sebagai
pusat pengembangan kesehatan di tingkat kecamatan mengambil prakarsa untuk
bersama-sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan menggerakkan peran serta
masyarakat (PSM) dalam bentuk kegiatan PKMD.
1.5.
Tujuan Pembangunan Masyarakat Desa Dalam Bidang Kesehatan
1.5.1. Tujuan umum
Untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat menolong diri sendiri dibidang kesehatan
dalam rangka meningkatkan mutu hidup
1.5.2. Tujuan khusus
a. Menumbuhkan kesadaran masyarakat akan potensi yang
dimilikinya untuk menolong diri mereka sendiri dalam meningkatkan mutu hidup
mereka
b. Mengembangkan kemampuan dan prakarsa masyarakat untuk
berperan secara aktif dan berswadaya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka
sendiri
c. Menghasilkan lebih banyak tenaga-tenaga masyarakat
setempat yang mampu, terampil serta mau berperan aktif dalam pembangunan desa
d. Meningkatnya
kesehatan masyarakat dalam arti memenuhi beberapa indikator :
§
Angka kesakitan menurun
§
Angka kematian menurun, terutama angka kematian bayi dan anak
§
Angka kelahiran menurun
§
Menurunnya angka kekurangan gizi pada anak balita
1.6.
Nilai-Nilai Filosofi Dalam Pembangunan
Pembangunan nasional pada dasarnya memiliki arti penting dan strategis
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Disebabkan karena pembangunan hukum nasional
merupakan upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana yang
disyaratkan pada pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pembangunan hukum yang dilandasi oleh nilai dasar atau
nilai ideologis, nilai historis, nilai yuridis serta nilai filosofinya akan
memberikan dampak positif bagi masyarakat untuk dapat menikmati rasa keadilan,
kepastian manfaat hukum yang pada akhirnya akan bermuara pada pembentukan sikap
dan kesadaran masyarakat terhadap hukum. Pentingnya hukum dibangun agar hukum dapat
menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang kita harapkan. Hukum
juga dapat berperan sebagai objek pembangunan dalam rangka mewujudkan hukum
yang ideal sesuai dengan nilai-nilai hidup di masyarakat.
Dalam hal mengintegrasikan dimensi kependudukan dalam
perencanaan pembangunan (baik nasional maupun daerah) maka manfaat paling
mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada didaerah
tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan
lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara
keseluruhan dibanding dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi
pada pertumbuhan (growth). Pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu
jaminan akan berlangsung proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan
kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah
(bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat
lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan seluruh lapisan masyarakat
dalam proses perencanaan pembangunan.
Pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk
agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan
tersebut. Sebaliknya, pembangunan tersebut baru dikatakan berhasil jika mampu
meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.Dan juga keadaan dan
kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan
kualitas penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat
kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi
pembangunan.Apa yang dapat dipelajari dari krisis ekonomi yang berlangsung saat
ini adalah bahwa Indonesia telah mengambil strategi pembangunan ekonomi yang
tidak sesuai dengan potensi serta kondisi yang dimiliki.
Pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk
agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan
tersebut. Sebaliknya, pembangunan tersebut baru dikatakan berhasil jika mampu
meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.Dan juga keadaan dan
kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah. Pentingnya filsafat hukum dalam pembangunan
hukum nasional dikarenakan hanya denga filsafat hukum sebagai salah satu
variabel pelaksanaan pembangunan hukum nasional, yang akan menjawab berbagai
kebutuhan masyarakat dan sekaligus dapat merespons perkembangan seiring dengan
dinamika pembangunan nasional. Pembangunan berwawasan kependudukan ada
suatu jaminan akan berlangsung proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan
berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal
dari bawah (bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan seluruh lapisan
masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
1.7. Faktor Pendorong dan Penghambat
Pembangunan Kesehatan
Pengertian Pembangunan nasional adalah rangkaian
kegiatan masyarakat yang dilakukan berdasarkan gotong-royong, swadaya
masyarakat dalam rangka menolong mereka sendiri untuk mengenal dan memecahkan
masalah atau kebutuhan yang dirasakan masyarakat, baik dalam bidang kesehatan
maupun dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan, agar mampu memelihara
kehidupannya yang sehat dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan
masyarakat.
Faktor
Pendorong dan Penghambat Pembangunan Nasional :
1. Disparitas
Status Kesehatan
Disparitas adalah perbedaan jarak ; adanya upah
yang diterima oleh para pekerja pabrik itu. Menghalangi pemiliknya untuk
mendapatkan hak kesehatan yang layak. , masyarakat, media massa, politikus
bahkan insan kesehatan masih memandang hak kesehatan hanya pada hak untuk
memperoleh pelayanan kuratif di rumah sakit dan puskesmas . Meskipun secara
nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat namun disparitas antar
tingkat sosial ekonomi dan antar wilayah masih cukup tinggi. Selama ini
kesehatan dianggap sebagai barang yang mahal, kesehatan di Indonesia hanya
untuk kalangan berpunya ‘orang miskin dilarang sakit’ . Tragis, mengingat
kekayaan Indonesia yang begitu tetapi tidak ada pertanggung jawaban tentang
keberadaan SDA tersebut.
2. Beban
Ganda Penyakit
Bagi masyarakat Indonesia khususnya, penyakit memiliki
beban ganda,yang pertama adalah rasa sakit yang diderita dan yang kedua masalah
uang yang cukup banyak. Untuk mengatasi masalah penyakit yang dideritanya. Hal
ini memberikan dampak negative pada pasien yang bersangkutan, karena
keterbatasan dana, mereka mendapatkan keterbatasan pelayanan kesehatan.
3. Kinerja
Pelayanan yang Rendah
Kinerja kesehatan merupakan salah satu faktor
penting dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Rendahnya kualitas
pelayanan kesehatan yang ditandai dengan masih di bawah standarnya kualitas
pelayanan sebagian rumah sakit daerah serta keterbatasan tenaga kesehatan juga
menjadi tantangan yang harus segera di atas. Hingga saat ini jumlah dan
distribusi dokter, bidan serta perawat belum merata dimana disparitas rasio
dokter umum per 100.000 penduduk antar wilayah masih tinggi. Indonesia
mengalami kekurangan pada hampir semua tenaga kesehatan yang diperlukan
4. Perilaku
Masyarakat yang Kurang Mendukung Hidup Bersih
Dewasa ini sikap masyarakat Indonesia juga sama
buruknya dengan sistem yang mengatur kesehatan. Sungai di Jakarta kini
mengalami perubahan fungsi, fungsi sungai bukan lagi menjadi tata perairan kota
tapi tempat sampah umum. Belum lagi ada masyarakat yang MCK di sungai, begitu
pula di sebagian wilayah pedesaan Indonesia kesadaraan akan pentingnya
kesehatan belum kita temukan di masyarakat kita.
5. Rendahnya
Kondisi Kesehatan Lingkungan
Rendahnya pembangunan ekonomi yang belum merata
adalah biang keladi pokok masalah ini . Hal tersebut menimbulkan kesenjangan
soasial baik papan, sandang dan pangan. Pertanyaan mengapa kesehatan lebih
banyak dialamai oleh orang tak berpunya ? Mungkin jawabannya adalah karena
lingkungan tempat tinggal yang buruk.
Kesehatan
Indonesia berada pada kondisi yang saat buruk, pembangunan kesehatan di
Indonesia, dapat dilihat dari berbagai penghambat serta langkah pendorong untuk
mengatasinya . Minimnya pelayan kesehatan, dan rendahnya pelayanan kesehatan
adalah salah satu penghambat pembangunan kesehatan . Adat kebiasaan masyarakat,
serta keadaan ekonomi dan pendidikan turut ikut andil dalam hal ini.
No comments:
Post a Comment