Sunday 21 July 2013

KENYATAAN SEKARANG, BAGAIMANA GENERASI MUDA MENDATANG ?


Pelaksanaan dakwah yang datang tidak cukup kuat mengimbangi struktur sosial yang sudah mapan sebelumnya. Akibat yang terjadi adalah terjadi perubahan dari politeistik kepada monoteistik akan tetapi lambat dalam reformasi struktur sosial. Sejalan dengan model islamisasi yang berlangsung dengan pendekatan budaya sebagai akibat dari tidak cukup kuatnya para muballigh melakukan perombakan struktur sosial itu, berdampak pada model pembelajaran Islam yang lebih banyak mengacu kepada pemeliharaan kesinambungan ilmu-ilmu keislaman yang dilembagakan melalui pondok pesantren. >>>

Menilik sejarah islamisasi di Indonesia, penampilan Islam lebih mengacu kepada pengayaan kerohanian (spritual enrichment) sebagai konsekuensi akulturasi dengan budaya lokal yang sebelumnya telah dibentuk berbagai kepercayaan lokal. Model pengayaan kerohanian ini membawa dampak positif yaitu berakarnya dengan kuat tradisi keislaman dalam persepsi masyarakat akan tetapi juga memiliki dampak negatif yaitu kurangnya dinamika Islam dalam merubah struktur sosial. Hal ini disebabkan karena strategi dakwah yang disampaikan lebih banyak  mengandalkan model adaptasi dan akomodasi.
Pondok pesantren cukup ampuh dalam meneruskan tradisi ini sekaligus juga sebagai kawah candradimuka mempersiapkan calon-calon pemimpin dalam melakukan rekayasa struktur sosial. Hasil yang diperoleh adalah kharisma kepemimpinan ulama. Namun kharisma kewibawaan ini tidak diimbangi dengan profesionalitas disebabkan modal pengetahuan mereka lebih mengacu kepada sistim pengayaan kerohanian. Model pendidikan yang dikembangkan juga lebih banyak penekanannya yang bersifat defensif yaitu mempertahankan Islam dari gempuran infiltrasi barat yang berlangsung bersamaan dengan datangnya era kolonialisme di tanah air.
Begitu arus modernisme dan sekularisme dari barat dengan deras merusak sendi-sendi sosial maka para pemimpin umat waktu itu mencari solusi-solusi yang sifatnya melalui pendekatan spritualis. Dengan modal wawasan keislaman penekanannya pengayaan kerohanian maka langkah politisnya adalah perumusan identitas keislaman yang membedakannya dengan identitas kebaratan itu. Wacana simbolisasi Islam begitu kuat pengaruhnya terasa sampai kepada masa kita sekarang ini. Wacana tersebut sebenarnya tidak selamanya negatif  apabila diimbangi dengan perluasan wawasan tentang keislaman sehingga terjadi pelebaran wilayah dakwah mencakup pendekatan yang lebih komprehensif dalam berbagai sektor kehidupan umat.
Sebagai wujud dari simbolisasi itu maka tidak dapat dielakkan adanya keinginan yang kuat untuk memberi identitas keislaman terhadap berbagai sektor kehidupan sosial antara lain ekonomi Islam, partai politik Islam, pendidikan Islam dan lain sebagainya. Akibatnya muncul polarisasi Islam dengan berbagai aktivitas sosial yang mengacu kepada bentuk belah kacang. Sejalan dengan dikhotomisasi itu maka pola berpikir simbolistik itu menumbuhkan sikap emosional yang kuat. Sikap emosional itu dengan jelas kelihatan manakala ada ketersinggungan-ketersinggungan yang bernuansa politis. Terkadang muncul pandangan bernada kritik bahwa umat Islam itu kekuatannya hanya di dalam penggalangan massa akan tetapi lemah dalam pengembangan  profesionalitas.
Sementara itu di dalam diri umat Islam itu sendiri tumbuh polarisasi berdasar pada aliran maupun tradisi pemikiran yang terkadang mengarah kepada perbedaan yang cukup tajam. Di kalangan pengamat sering keheranan mengapa umat Islam sulit berkompromi dalam hal-hal yang tidak strategis padahal titik temu di kalangan mereka jauh lebih besar dari umat lainnya. Dalam bidang politik telah berkembang wacana untuk menarik garis pemisah antara partai politik Islam dengan yang bukan partai Islam. Padahal juga masih tersisa sejumlah pertanyaan yaitu apakah partai-partai Islam telah memiliki karakter tersendiri dibanding dengan yang bukan partai Islam.
Sebab dalam kiprah sosialnya sulit menarik garis pembeda antara dua model kepartaian itu. Menilik pandangan dikhotomis ini lalu muncul wacana lain untuk mencoba merumuskan sintesa antara partai Islam dengan bukan Islam ini dengan solusi nasionalis-religius. Namun sesungguhnya, semua partai politik itu kalau memang konsisten pada filosofi bangsa ini pastilah juga semuanya nasionalis-religius. Indikatornya adalah sulitnya mempersatukan kepemimpinan umat Islam di Indonesia.
Awal dikhotomisasi ini terletak pada model pembelajaran lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi keislaman pada masa lalu. Lembaga-lembaga  pendidikan tinggi keislaman tersebut pada mulanya adalah kelanjutan pendidikan tradisional yang dikelola di pesantren luhur. Sementara di sisi lain begitu kuatnya arus tarikan pendekatan keilmuan untuk lebih mendekat ke kutub sekularisme. Bila polarisasi ini terus berlanjut maka tidak terbayangkan betapa kerugian yang akan dialami umat Islam karena aset kultur keislaman yang dimiliki selama ini bukan saja sirna akan tetapi malah dianggap tidak sejalan dengan gagasan mewujudkan Indonesia yang baru Persoalan ikatan kekuatan solidaritas sesama muslim menjadi bahan kajian yang tidak pernah habis. Mereka dengan mudah bisa bertemu manakala sedang dihadapkan kepada persoalan bersama. Selain dari itu, secara internal umat Islam juga memiliki simbol-simbol keberagamaan yang membedakan antara satu dengan yang lain yang tidak jarang menimbulkan ketegangan.

No comments:

Post a Comment