Pelaksanaan dakwah yang
datang tidak cukup kuat mengimbangi struktur sosial yang sudah mapan
sebelumnya. Akibat yang terjadi adalah terjadi perubahan dari politeistik
kepada monoteistik akan tetapi lambat dalam reformasi struktur sosial. Sejalan
dengan model islamisasi yang berlangsung dengan pendekatan budaya sebagai
akibat dari tidak cukup kuatnya para muballigh melakukan perombakan struktur
sosial itu, berdampak pada model pembelajaran Islam yang lebih banyak mengacu
kepada pemeliharaan kesinambungan ilmu-ilmu keislaman yang dilembagakan melalui
pondok pesantren. >>>
Menilik sejarah islamisasi di
Indonesia, penampilan Islam lebih mengacu kepada pengayaan kerohanian (spritual
enrichment) sebagai konsekuensi akulturasi dengan budaya lokal yang sebelumnya
telah dibentuk berbagai kepercayaan lokal. Model pengayaan kerohanian ini
membawa dampak positif yaitu berakarnya dengan kuat tradisi keislaman dalam
persepsi masyarakat akan tetapi juga memiliki dampak negatif yaitu kurangnya
dinamika Islam dalam merubah struktur sosial. Hal ini disebabkan karena
strategi dakwah yang disampaikan lebih banyak mengandalkan model adaptasi
dan akomodasi.
Pondok pesantren cukup ampuh dalam
meneruskan tradisi ini sekaligus juga sebagai kawah candradimuka mempersiapkan
calon-calon pemimpin dalam melakukan rekayasa struktur sosial. Hasil yang
diperoleh adalah kharisma kepemimpinan ulama. Namun kharisma kewibawaan ini
tidak diimbangi dengan profesionalitas disebabkan modal pengetahuan mereka
lebih mengacu kepada sistim pengayaan kerohanian. Model pendidikan yang
dikembangkan juga lebih banyak penekanannya yang bersifat defensif yaitu
mempertahankan Islam dari gempuran infiltrasi barat yang berlangsung bersamaan
dengan datangnya era kolonialisme di tanah air.
Begitu arus modernisme dan
sekularisme dari barat dengan deras merusak sendi-sendi sosial maka para
pemimpin umat waktu itu mencari solusi-solusi yang sifatnya melalui pendekatan
spritualis. Dengan modal wawasan keislaman penekanannya pengayaan kerohanian
maka langkah politisnya adalah perumusan identitas keislaman yang membedakannya
dengan identitas kebaratan itu. Wacana simbolisasi Islam begitu kuat
pengaruhnya terasa sampai kepada masa kita sekarang ini. Wacana tersebut sebenarnya tidak
selamanya negatif apabila diimbangi
dengan perluasan wawasan tentang keislaman sehingga terjadi pelebaran wilayah
dakwah mencakup pendekatan yang lebih komprehensif dalam berbagai sektor
kehidupan umat.
Sebagai wujud dari simbolisasi itu maka tidak dapat
dielakkan adanya keinginan yang kuat untuk memberi identitas keislaman terhadap
berbagai sektor kehidupan sosial antara lain ekonomi Islam, partai politik
Islam, pendidikan Islam dan lain sebagainya. Akibatnya muncul polarisasi Islam
dengan berbagai aktivitas sosial yang mengacu kepada bentuk belah kacang.
Sejalan dengan dikhotomisasi itu maka pola berpikir simbolistik itu menumbuhkan
sikap emosional yang kuat. Sikap emosional itu dengan jelas kelihatan manakala
ada ketersinggungan-ketersinggungan yang bernuansa politis. Terkadang muncul
pandangan bernada kritik bahwa umat Islam itu kekuatannya hanya di dalam
penggalangan massa akan tetapi lemah dalam pengembangan profesionalitas.
Sementara itu di dalam diri umat Islam itu sendiri
tumbuh polarisasi berdasar pada aliran maupun tradisi pemikiran yang terkadang
mengarah kepada perbedaan yang cukup tajam. Di kalangan pengamat sering
keheranan mengapa umat Islam sulit berkompromi dalam hal-hal yang tidak
strategis padahal titik temu di kalangan mereka jauh lebih besar dari umat lainnya.
Dalam bidang politik telah berkembang wacana untuk menarik garis pemisah antara
partai politik Islam dengan yang bukan partai Islam. Padahal juga masih tersisa
sejumlah pertanyaan yaitu apakah partai-partai Islam telah memiliki karakter
tersendiri dibanding dengan yang bukan partai Islam.
Sebab dalam kiprah sosialnya sulit menarik
garis pembeda antara dua model kepartaian itu. Menilik pandangan dikhotomis ini
lalu muncul wacana lain untuk mencoba merumuskan sintesa antara partai Islam
dengan bukan Islam ini dengan solusi nasionalis-religius. Namun sesungguhnya,
semua partai politik itu kalau memang konsisten pada filosofi bangsa ini
pastilah juga semuanya nasionalis-religius. Indikatornya adalah sulitnya
mempersatukan kepemimpinan umat Islam di Indonesia.
Awal dikhotomisasi ini terletak pada
model pembelajaran lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi keislaman pada
masa lalu. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi keislaman tersebut pada
mulanya adalah kelanjutan pendidikan tradisional yang dikelola di pesantren
luhur. Sementara di sisi lain begitu kuatnya arus tarikan pendekatan keilmuan
untuk lebih mendekat ke kutub sekularisme. Bila
polarisasi ini terus berlanjut maka tidak terbayangkan betapa kerugian yang
akan dialami umat Islam karena aset kultur keislaman yang dimiliki selama ini
bukan saja sirna akan tetapi malah dianggap tidak sejalan dengan gagasan
mewujudkan Indonesia yang baru Persoalan ikatan kekuatan solidaritas sesama
muslim menjadi bahan kajian yang tidak pernah habis. Mereka dengan mudah bisa
bertemu manakala sedang dihadapkan kepada persoalan bersama. Selain dari itu,
secara internal umat Islam juga memiliki simbol-simbol keberagamaan yang
membedakan antara satu dengan yang lain yang tidak jarang menimbulkan
ketegangan.
No comments:
Post a Comment